Monday, December 22, 2008

SEPPS: FENOMENA DI SEKITAR APBD
Oleh: Muhammad Ishak *)

Kata orang bijak, sepandai pandainya tupai melompat, satu waktu, jatuh juga. Tetapi, ucapan orang bijak ini, sepertinya tidak berlaku pada masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mengapa? Karena para tupai yang meloncat (pengelola keuangan), bukan hanya pada satu waktu terjatuh, tetapi sudah sering jatuh. Walaupun tupai-tupai itu sudah lama dengan dunia loncat meloncat, tetapi tetap saja masih terjatuh karena selain melomcat tanpa mengikuti aturan perloncatan yang ada, juga meloncat di atas lomcatan yang terlalu banyak aturan lomcatannya. Mengapa demikian? Banyak alternatif jawaban yang mungkin dapat kita jawab. Namun, sebelum menjawab itu, perlu kiranya kita mengenal lebih dahulu akar penyebab masalahnya.

Fenomena Kebingungan di Daerah dan Pusat
Kata ” bingung ” memberi indikasi tentang suatu kondisi yang serba tidak jelas atau tidak sadar terhadap suatu kenyataan. Konsekuensi logisnya dapat bervariasi, mulai dari jalan di tempat, merasa kehilangan arah, stres, hingga menjadi frustasi. Dalam kondisi yang demikian, tidak banyak yang bisa diperbuat, kalaupun ada, tetap tidak menghasilkan suatu capaian yang maksimal sebagimana yang diharapkan bahkan dapat berdampak negatif seperti kesia-siaan dan merugikan. Inilah kenyataan yang dihadapi oleh para pengelola keuangan yang terkait APBD dimana tampak bahwa baik pemerintah pusat mapun daerah sedang mengalami kebingungan dengan versi dan bentuk yang berbeda-beda.
Bagi pemerintah pusat, kebingungan lebih ditandai dengan beragamnya aturan atas pola pengelolaan keuangan daerah yang dimunculkannya. Hal ini dapat kita lihat pada bagaimana APBD disusun agar memberikan suatu tampilan yang mencerminkan bentuk kinerja yang baik. Dengan kata lain, anggaran yang disusun oleh daerah telah mengacu pada satu pandangan idial yang diyakini akan mampu mengarahkan pengelolaan keuangan di daerah menuju pencapaian visi/misi daerah. Babak penyusunan anggaran yang berbasis pada kinerja ini dimulai dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmemdagri) No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Melalui Kepmendagri ini, sejak tahun anggaran (TA) 2003, Keputusan Kepala Daerah yang terkait dengan penyusunan APBD, perubahan APBD, penatausahaan pelaksanaan keuangan daerah serta penyusunan Perhitungan APBD untuk TA 2003 dan seterusnya mengacu pada pedoman dan tata cara menurut keputusan ini (Pasal 106 ayat 2). Melalui Kepmendagri ini pula, dimulainya babak baru dalam pengelolaan keuangan pemerintah di daerah. Hal ini ditandai antara lain oleh yang sebelumnya tidak menggunakan aspirasi masyarakat sebagai salah satu unsur penting dalam penyusunan APBD, tetapi, sejak diberlakukannya Kepmendagri tersebut, aspirasi masyarakat menjadi salah satu komponen penting dalam penyusunan APBD sehingga sangat perlu untuk dijaring. Hal lainnya adalah tertatanya pengelolaan keuangan daerah secara terencana, terorganisir, terarah, terukur, terevaluasi, dan terkendali. Begitu pula dengan masalah transformasi paradigma dalam pengelolaan keuangan daerah. Ada 8 paradigma yang harus dipegang oleh setiap induvidu atau instansi pengelola keuangan negara. Ke-8 paradigma tersebut adalah desentralisasi, aspirasi, partisipasi, value of maney, keadilan, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Masing-masing paradigma, jika diamati secara seksama, akan tampak bahwa semua paradigma diarahkan pada pencapaian kesejahteraan masyarakat di daerah.
Diluncurkannya Kepmendagri 29 itu, juga membawa kebingungan bagi daerah. Terbukti dari beragamnya daerah dalam memberikan tafsiran pada aspek-aspek yang terdapat di Kepmendagri itu misalnya terhadap pengelompokan jenis belanja. Bagaimana mungkin suatu jenis belanja dapat dikelompokan secara benar manakala belanja tersebut mengandung 2 unsur kelompok besar belanja (aparatur dan pelayanan publik). Misalnya, dalam hal belanja pengadaan ATK, rekening listrik, rekening air, rekening telepon, dan belanja modal gedung kantor. Macam-macam jenis belanja ini dapat dikelompokan ke dalam kelompok Belanja Aparatur maupun Pelayanan Publik. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa setiap belanja di kelompokan menurut penggunaannya, yaitu apakah untuk aparatur atau pelayanan publik. Pertanyaannya, apakah mungkin ATK dapat dipisah kegunaannya yaitu sekian untuk aparatur dan sekian pula untuk pelayanan publik. Kalaupun mungkin, apa kontribusi yang diberikan dari pemisahan tersebut? Apakah mungkin belanja modal untuk gedung kantor dapat dikelompokan kegunaannya sekian untuk aparatur dan sekian pula untuk pelayanan publik. Begitu pula dengan jenis belanja lainnya. Lalu, apa perlunya pengelompokan belanja tadi, padahal banyak jenis belanja yang tidak mungkin dikelompokan dan jika mungkin, kontribusinya juga masih dipertanyakan. Namun, tidak pula dapat dinafikan bahwa pengelompokan ini penting sebab analisis kinerja pengelolaan keuangan daerah, dihitung berdasar pengelompokan tersebut. Jika demikian adanya, maka munculah pola evalusi dan penilaian kinerja yang tidak seragam antar daerah sebab masih adanya perbedaan penafsiran atas kegunaan belanja tersebut. Ini kan sangat membingungkan terutama bagi mereka yang akan memberikan penilaian kinerja keuangan daerah.
Dengan pergantian pimpinan kepresidenan, maka munculah aturan baru dalam penata usahaan keuangan daerah melalui Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) No. 13 tahun 2006 tentang Anggaran Berbasis Kinerja. Aturan ini sebagai pengganti Kepmendagri 29 di atas dan melalui Permendagri ini, setiap pengelola keuangan baik di pusat maupun daerah dituntut untuk merencakan keuangannya secara lebih detail lagi. Bagaimana tidak dikatakan bingung, jika aturan dalam pengelolaan keuangan daerah yang lama saja (Kepmendagri 29) belum tuntas alias masih ” setengah main ”, sudah diganti aturannya dengan yang baru. Padahal aturan baru (Permedagri nomor 13) ini, tidak lagi mengelompokan belanja berdasar belanja aparatur dan pelayanan publik, tetapi telah menggunakan kelompok Belanja Langsung dan Tidak Langsung yang mana setiap kelompok memiliki ciri-ciri yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Di sisi lain, secara teknis, penyusunan APBD berdasar Permendagri No 13/2006 ini belum mengatur sesuai penataan usahaan pengelolaan keuangan berbasis akuntansi, seperti masalah kapitalisasi belanja pemeliharaan aset tetap yang dimiliki daerah. Mengapa hal ini sampai luput difikirkan? Bukankah ini juga merangsang pemerintah di daerah untuk menjadi bingung dalam menata keuangannya? Begitu pula dengan masalah sanksi yang diberikan Depkeu kepada daerah yang tidak menyerahkan APBD ke Jakarta sesui jadual yang ditetapkan. Kebijakan ini dilandasi oleh asumsi bahwa percepatan penyelesaian APBD akan terjadi manakala harapan untuk mendapatkan DAU akan sirna jika APBD yang telah disahkan belum masuk ke Jakarta sesuai jadual yang ditetapkan. Asumsi lainnya adalah adanya tekanan dari masyarakat di daerah jika daerah tidak dapat merealisasikan berbagai proyek andalan daerah yang dikarenakan belum turunnya DAU. Jika diamati ke-2 asumsi di atas, tampak bahwa pusat masih mengandalkan nilai-nilai materi dalam mendorong daerah untuk lebih cepat menuntaskan penyelesaian APBDnya. Hal-hal yang bersifat non materi, sepertinya nyaris tidak tersentuh dalam pembahasan seperti aspek psikologi pihak pengelola keuangan di daerah, aspek kompetensi SDM di daerah, dan aspek pada sistem pengelolaan keuangan itu sendiri. Tidak tersentuhnya aspek-aspek non materi ini lebih mencerminkan kebingungan pusat dalam masalah pengelolaan keuangan daerah sebab para pengelola keuangan daerah itu, juga adalah manusia yang tidak hanya cukup dengan mengedepankan aspek-aspek material saja. Pertanyaannya adalah sudahkah pusat menggunakan pendekatan-pendekatan non materi seperti disebut di atas dalam membantu untuk menyelesaikan keterlambatan APBD? Lain dengan pusat, kebingungan bagi pihak daerah dalam rangka merealisasikan Permendagri 13 tersebut, tidaklah kalah serunya. Kebingungan yang menonjol adalah pada saat daerah hendak menyesuaikan program kerja dengan yang telah tercantum di Permendagri tersebut. Artinya, suatu program yang telah dicanangkan oleh daerah dapat terhapus/ditiadakan sebab tipe program tersebut tidak ada di Permendagri. Begitu pula untuk melakukan detail dari setiap belanja yang dikeluarkan untuk 1 kegiatan. Selain itu, secara teknis pencatatan setiap transaksi keuangan, antara satu aturan dengan aturan lainya masih belum singkron, lebih-lebih lagi untuk penata usahaan anggaran unit usaha yang dimiliki daerah seperti BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Oleh karena BLUD ini adalah bagian dari harta pemerintah daerah yang tidak dapat dipisahkan, maka kebutuhan pendanaan BLUD juga masih banyak yang berasal dari Pemerintah Dearah pemilik BLUD. Dengan kata lain, pihak Pemerintah Daerah masih mencantumkan kebutuhan dana BLUD tersebut di APBDnya. Konsekuensinya, dalam pelaksanaan sistem pencatatan di BLUD tersebut mengacu pada Permendagri 13/2006 dan Peraturan Pemerintah No. 24 tahunn 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sedang BLUD itu sendiri, juga memiliki pedoman tersendiri dalam pengelolaan keuangannya yaitu Permendagri No. 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD yang berseberangan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahunn 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Lantas, bagaimana kinerja BLUD itu dapat dilihat jika aturan yang digunakan antara BLUD dan tim penilai adalah berbeda?

Simpulan
Kenyataan di atas menunjukan masih banyaknya permasalahan yang tersimpan di sekitar pengelolaan keuangan daerah dalam hal penyusunan APBD. Ini terbukti dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan keuangan daerah seperti pihak pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan badan-badan pengawas/pemeriksa keuangan, yang memegang aturan yang tidak sama terhadap hal yang sama. Sebagai konsekuensi logisnya, maka kinerja yang diharapkan dari setiap pihak sukar untuk dicapai secara optimal. Untuk itu, maka perlu suatu kesepakatan dan pengevaluasian ulang atas semua peraturan yang telah dikeluarkan melalui banyak cara seperti public hearing, diskusi-diskusi, sosialisasi, dan lain sebagainya.

Staf Ahli Badan Penelitian dan Pengembangan Prov. SUMUT,
Peneliti pada Sumatera Economic and Public Policies Study (SEPPS)
dan Staf Pengajar FE UNIMED-Medan
Email: muhishak67@yahoo.com
Izack_mis@yahoo.com

No comments: