Monday, December 22, 2008

SEPPS: MENGAMATI PENGELOLAAN ASET PEMPROVSU
Oleh:
Muhammad Ishak *)

Pemilihan sistem desentralisasi oleh pemerintah, membawa implikasi luas terhadap pengelolaan kepemerintahan di setiap aspek yang ada di sekitar pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk juga Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu). Beberapa aspek tersebut diantaranya adalah masalah pengelolaan aset baik bersifat potensial maupun nyata (riil). Artinya, aset-aset apa saja yang masih bersifat potensial (belum tampak) dan aset-aset apa saja yang telah bersifat nyata, masih memerlukan suatu bentuk pengelolaan yang lebih baik dan profesional. Baik bermakna bahwa semua aset apakah potensial maupun riil adalah benar-benar telah menjadi bagian dari harta kekayaan yang dimiliki Pemprovsu yang secara fisik dan legal adalah sah adanya menjadi bagian harta kekayaan Pemprovsu. Sedang profesional memiliki makna bahwa apa-apa yang telah menjadi bagian dari harta kekayaan tadi, mampu memberi kontribusi relatif signifikan dalam mencapai visi dan misi Pemprovsu. Inilah bentuk yang idial pengelolaan aset yang dituntut oleh UU Otonomi Daerah. Lihat saja, bagaimana institusi pemeriksa tertinggi di negeri ini yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah lama memberikan perhatian pada aspek harta kekayaan pemerintah yang pada gilirannya, juga menjadi hal yang harus mereka audit. Pengauditan itu, mereka awali dari cara-cara mendapatkan aset hingga pada evaluasi kinerja aset atau kontribusi yang diberikan oleh aset tersebut terhadap pencapaia visi dan misi.

Pengelolaan Aset
Bagaimana dengan bentuk pengelolaan aset yang dimiliki oleh Pemprovsu, masih menjadi suatu pertanyaan yang relatif menyita waktu dan pemikiran para aparatur di lingkungan Pemprovsu. Hal ini terbukti dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK yang menunjukan bahwa Neraca Pemprovsu yang menggambarkan posisi keuangan Pemprovsu termasuk pula aset, untuk tahun 2006 dinyatakan belum sesuai dengan standar akuntansi (sesuai dengan PP No 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah). Artinya, aset yang disajikan oleh pihak Pemprovsu di dalam Neraca Daerah Pemprovsu tahun 2006, sukar untuk diyakini kebenarannya. Kenyataan ini merupakan 1 kondisi dari beberapa kondisi yang ada terhadap masalah aset tersebut seperti masalah kesinerjian aset dan kinerja aset tersebut, dimana masalah kesinerjian dan kinerja aset merupakan masalah terpenting yang ada di seputar pengelolaan aset daerah termasuk aset daerah Pemprovsu.
Sebelum membicarakan masalah kesinerjian dan kinerja aset yang dimiliki Pemprovsu, melirik ke belakang agar apa-apa yang akan dilakukan nantinya tidak lagi bersifat mengulang kekeliruan yang semestinya bisa dihindari, adalah penting untuk disimak. Katakanlah seperti masalah masih banyaknya aset Pemprovsu yang belum memiliki peran yang jelas dalam menunjang pencapaian visi misi Pemprovsu. Pengamatan kondisi ke belakang tersebut, dapat dimulai dengan memunculkan pertanyaan seperti mengapa suatu aset perlu diadakan/dihadirkan? Mengapa pula diperlukan aset berupa dan bertipe seperti ini dan tidak seperti itu, yang mana jika seperti ini akan mengorbankan banyak sumberdaya sebab harganya mahal, dan lain sebagainya. Mengapa pula perlu membangun suatu bangunan. Semua pertanyaan seperti ini, oleh pihak aparatur di lingkungan Pemprovsu, dapat kita pastikan akan memberikan jawaban yang sejenis yaitu karena diperlukan untuk mendukung operasional Pemprovsu yang akhirnya akan dapat mengarahkan operasional tersebut ke arah pencapaian visi misi Pemprovsu. Lalu muncul pertanyaan yang lebih mendalam sifatnya yaitu apakah 1 jenis aset dengan aset lainnya dapat bersinerjik kerjanya yang pada gilirannya akan memunculkan efisiensi atau penghematan? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang logis yang akan melogiskan kegiatan pengadaan aset untuk dituangkan ke dalam APBD Pemprovsu. Sebab, masih segar dalam ingatan kita bahwa penyusunan anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah (APBD atau APBN) disusun dengan pendekatan kinerja yang berlandaskan pada paradigma value of money. Artinya, sekecil apapun dana yang dianggarkan untuk suatu belanja, harus memiliki kontribusi yang jelas terhadap pencapaian visi misi instansi yang menganggarkan dana tersebut. Di sinilah baru diketahui akan keseriusan pihak aparatur pengusul anggaran dalam menyusun anggaran guna mendukung operasional instansi pengusul anggaran tersebut termasuk pula anggaran yang diusulkan untuk pengadaan suatu jenis aset. Bagaimana mungkin bisa diterima secara logis jika dana yang diperlukan untuk menghadirkan suatu jenis aset tertentu mengandung ketidak jelasan kontribusi yang akan disumbangkan aset tersebut dalam rangka pencapaian visi misi instansi pengusul. Atau, bagaimana mungkin bisa logis jika suatu aset yang diusulkan untuk diadakan namun telah pernah ada sebelumnya walaupun keberadaan aset tersebut di instansi lain, sementara aset yang telah ada tersebut tetap masih belum maksimal pemanfaatannya oleh instansi yang menguasai tersebut. Inilah kondisi-kondisi yang sangat berpotensi untuk menciptakan aset-aset yang tidak bertuan. Sebab, hanya aset yang bertuanlah yang mempu memberikan kontribusi maksimal bagi kepentingan tuannya.
Lalu, bagaimana pula dengan pola dan arah perencanaan terhadap pengelolaan aset yang ada di lingkungan Pemprovsu. Jawaban pertanyaan ini adalah menjadi kunci keberhasilan Pemprovsu dalam melakukan pengelolaan terhadap aset yang dimilikinya. Apakah Pemprovsu telah memiliki suatu bentuk evaluasi yang komprehensif atas pemanfaatan satu aset di satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau di beberapa SKPD yang ada di lingkungan Pemprovsu. Mengenai pola/bentuk perencanaan terhadap pengelolaan aset tersebut, dapat dilihat melalui munculnya mata anggaran dalam APBD yaitu anggaran pemeliharaan aset. Oleh karenanya, masalah pemeliharaan ini, akan muncul terus di APBD. Lantas, untuk apa aset itu perlu pemeliharaan? Atau mau diarahkan ke mana pemeliharaan itu tadi? Jawaban dari pertanyaan ini, sudah semestinya mengarah pada pencapaian visi misi. Sehingga, jawaban yang berbasis pada visi misi Pemprovsu adalah jawaban yang sangat logis untuk diterima agar kegiatan pemeliharaan tersebut logis pula dimasukkan ke dalam APBD Pemprovsu.

Simpulan
Melihat peliknya masalah pengelolaan aset ini, maka langkah awal yang dilakukan oleh pihak Pemprovsu yaitu dengan membentuk task force aset sebagai tim yang mendampingi Pansus Aset DPRD Sumut adalah langkah awal yang tepat. Namun, tidaklah cukup jika tim ini hanya bertugas untuk mengumpulkan data dan informasi aset saja. Tetapi, lebih jauh lagi yaitu juga bertugas untuk memberikan evaluasi atas kinerja masing-masing aset. Selain itu, tim juga hendaknya telah memiliki suatu paradigma jauh ke depan yang secara komprehensif atas pemanfaatan aset menuju pencapaian visi misi Pemprovsu. Sebab, bukan tidak jarang terjadi bahwa 1 jenis aset yang dimiliki oleh 1 SKPD tidak termanfaatkan secara maksimal oleh SKPD tersebut namun oleh SKPD lain, mengusulkan untuk mengadakan aset sejenis tersebut di APBD. Apakah tidak lebih profesional jika aset tersebut dialihkan penguasaannya ke SKPD yang mengusulkan tadi sehingga lebih dapat dioptimalkan kinerja aset tersebut yang tentunya diperlukan sebuat kajian pula.
SEPPS: FENOMENA DI SEKITAR APBD
Oleh: Muhammad Ishak *)

Kata orang bijak, sepandai pandainya tupai melompat, satu waktu, jatuh juga. Tetapi, ucapan orang bijak ini, sepertinya tidak berlaku pada masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mengapa? Karena para tupai yang meloncat (pengelola keuangan), bukan hanya pada satu waktu terjatuh, tetapi sudah sering jatuh. Walaupun tupai-tupai itu sudah lama dengan dunia loncat meloncat, tetapi tetap saja masih terjatuh karena selain melomcat tanpa mengikuti aturan perloncatan yang ada, juga meloncat di atas lomcatan yang terlalu banyak aturan lomcatannya. Mengapa demikian? Banyak alternatif jawaban yang mungkin dapat kita jawab. Namun, sebelum menjawab itu, perlu kiranya kita mengenal lebih dahulu akar penyebab masalahnya.

Fenomena Kebingungan di Daerah dan Pusat
Kata ” bingung ” memberi indikasi tentang suatu kondisi yang serba tidak jelas atau tidak sadar terhadap suatu kenyataan. Konsekuensi logisnya dapat bervariasi, mulai dari jalan di tempat, merasa kehilangan arah, stres, hingga menjadi frustasi. Dalam kondisi yang demikian, tidak banyak yang bisa diperbuat, kalaupun ada, tetap tidak menghasilkan suatu capaian yang maksimal sebagimana yang diharapkan bahkan dapat berdampak negatif seperti kesia-siaan dan merugikan. Inilah kenyataan yang dihadapi oleh para pengelola keuangan yang terkait APBD dimana tampak bahwa baik pemerintah pusat mapun daerah sedang mengalami kebingungan dengan versi dan bentuk yang berbeda-beda.
Bagi pemerintah pusat, kebingungan lebih ditandai dengan beragamnya aturan atas pola pengelolaan keuangan daerah yang dimunculkannya. Hal ini dapat kita lihat pada bagaimana APBD disusun agar memberikan suatu tampilan yang mencerminkan bentuk kinerja yang baik. Dengan kata lain, anggaran yang disusun oleh daerah telah mengacu pada satu pandangan idial yang diyakini akan mampu mengarahkan pengelolaan keuangan di daerah menuju pencapaian visi/misi daerah. Babak penyusunan anggaran yang berbasis pada kinerja ini dimulai dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmemdagri) No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Melalui Kepmendagri ini, sejak tahun anggaran (TA) 2003, Keputusan Kepala Daerah yang terkait dengan penyusunan APBD, perubahan APBD, penatausahaan pelaksanaan keuangan daerah serta penyusunan Perhitungan APBD untuk TA 2003 dan seterusnya mengacu pada pedoman dan tata cara menurut keputusan ini (Pasal 106 ayat 2). Melalui Kepmendagri ini pula, dimulainya babak baru dalam pengelolaan keuangan pemerintah di daerah. Hal ini ditandai antara lain oleh yang sebelumnya tidak menggunakan aspirasi masyarakat sebagai salah satu unsur penting dalam penyusunan APBD, tetapi, sejak diberlakukannya Kepmendagri tersebut, aspirasi masyarakat menjadi salah satu komponen penting dalam penyusunan APBD sehingga sangat perlu untuk dijaring. Hal lainnya adalah tertatanya pengelolaan keuangan daerah secara terencana, terorganisir, terarah, terukur, terevaluasi, dan terkendali. Begitu pula dengan masalah transformasi paradigma dalam pengelolaan keuangan daerah. Ada 8 paradigma yang harus dipegang oleh setiap induvidu atau instansi pengelola keuangan negara. Ke-8 paradigma tersebut adalah desentralisasi, aspirasi, partisipasi, value of maney, keadilan, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Masing-masing paradigma, jika diamati secara seksama, akan tampak bahwa semua paradigma diarahkan pada pencapaian kesejahteraan masyarakat di daerah.
Diluncurkannya Kepmendagri 29 itu, juga membawa kebingungan bagi daerah. Terbukti dari beragamnya daerah dalam memberikan tafsiran pada aspek-aspek yang terdapat di Kepmendagri itu misalnya terhadap pengelompokan jenis belanja. Bagaimana mungkin suatu jenis belanja dapat dikelompokan secara benar manakala belanja tersebut mengandung 2 unsur kelompok besar belanja (aparatur dan pelayanan publik). Misalnya, dalam hal belanja pengadaan ATK, rekening listrik, rekening air, rekening telepon, dan belanja modal gedung kantor. Macam-macam jenis belanja ini dapat dikelompokan ke dalam kelompok Belanja Aparatur maupun Pelayanan Publik. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa setiap belanja di kelompokan menurut penggunaannya, yaitu apakah untuk aparatur atau pelayanan publik. Pertanyaannya, apakah mungkin ATK dapat dipisah kegunaannya yaitu sekian untuk aparatur dan sekian pula untuk pelayanan publik. Kalaupun mungkin, apa kontribusi yang diberikan dari pemisahan tersebut? Apakah mungkin belanja modal untuk gedung kantor dapat dikelompokan kegunaannya sekian untuk aparatur dan sekian pula untuk pelayanan publik. Begitu pula dengan jenis belanja lainnya. Lalu, apa perlunya pengelompokan belanja tadi, padahal banyak jenis belanja yang tidak mungkin dikelompokan dan jika mungkin, kontribusinya juga masih dipertanyakan. Namun, tidak pula dapat dinafikan bahwa pengelompokan ini penting sebab analisis kinerja pengelolaan keuangan daerah, dihitung berdasar pengelompokan tersebut. Jika demikian adanya, maka munculah pola evalusi dan penilaian kinerja yang tidak seragam antar daerah sebab masih adanya perbedaan penafsiran atas kegunaan belanja tersebut. Ini kan sangat membingungkan terutama bagi mereka yang akan memberikan penilaian kinerja keuangan daerah.
Dengan pergantian pimpinan kepresidenan, maka munculah aturan baru dalam penata usahaan keuangan daerah melalui Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) No. 13 tahun 2006 tentang Anggaran Berbasis Kinerja. Aturan ini sebagai pengganti Kepmendagri 29 di atas dan melalui Permendagri ini, setiap pengelola keuangan baik di pusat maupun daerah dituntut untuk merencakan keuangannya secara lebih detail lagi. Bagaimana tidak dikatakan bingung, jika aturan dalam pengelolaan keuangan daerah yang lama saja (Kepmendagri 29) belum tuntas alias masih ” setengah main ”, sudah diganti aturannya dengan yang baru. Padahal aturan baru (Permedagri nomor 13) ini, tidak lagi mengelompokan belanja berdasar belanja aparatur dan pelayanan publik, tetapi telah menggunakan kelompok Belanja Langsung dan Tidak Langsung yang mana setiap kelompok memiliki ciri-ciri yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Di sisi lain, secara teknis, penyusunan APBD berdasar Permendagri No 13/2006 ini belum mengatur sesuai penataan usahaan pengelolaan keuangan berbasis akuntansi, seperti masalah kapitalisasi belanja pemeliharaan aset tetap yang dimiliki daerah. Mengapa hal ini sampai luput difikirkan? Bukankah ini juga merangsang pemerintah di daerah untuk menjadi bingung dalam menata keuangannya? Begitu pula dengan masalah sanksi yang diberikan Depkeu kepada daerah yang tidak menyerahkan APBD ke Jakarta sesui jadual yang ditetapkan. Kebijakan ini dilandasi oleh asumsi bahwa percepatan penyelesaian APBD akan terjadi manakala harapan untuk mendapatkan DAU akan sirna jika APBD yang telah disahkan belum masuk ke Jakarta sesuai jadual yang ditetapkan. Asumsi lainnya adalah adanya tekanan dari masyarakat di daerah jika daerah tidak dapat merealisasikan berbagai proyek andalan daerah yang dikarenakan belum turunnya DAU. Jika diamati ke-2 asumsi di atas, tampak bahwa pusat masih mengandalkan nilai-nilai materi dalam mendorong daerah untuk lebih cepat menuntaskan penyelesaian APBDnya. Hal-hal yang bersifat non materi, sepertinya nyaris tidak tersentuh dalam pembahasan seperti aspek psikologi pihak pengelola keuangan di daerah, aspek kompetensi SDM di daerah, dan aspek pada sistem pengelolaan keuangan itu sendiri. Tidak tersentuhnya aspek-aspek non materi ini lebih mencerminkan kebingungan pusat dalam masalah pengelolaan keuangan daerah sebab para pengelola keuangan daerah itu, juga adalah manusia yang tidak hanya cukup dengan mengedepankan aspek-aspek material saja. Pertanyaannya adalah sudahkah pusat menggunakan pendekatan-pendekatan non materi seperti disebut di atas dalam membantu untuk menyelesaikan keterlambatan APBD? Lain dengan pusat, kebingungan bagi pihak daerah dalam rangka merealisasikan Permendagri 13 tersebut, tidaklah kalah serunya. Kebingungan yang menonjol adalah pada saat daerah hendak menyesuaikan program kerja dengan yang telah tercantum di Permendagri tersebut. Artinya, suatu program yang telah dicanangkan oleh daerah dapat terhapus/ditiadakan sebab tipe program tersebut tidak ada di Permendagri. Begitu pula untuk melakukan detail dari setiap belanja yang dikeluarkan untuk 1 kegiatan. Selain itu, secara teknis pencatatan setiap transaksi keuangan, antara satu aturan dengan aturan lainya masih belum singkron, lebih-lebih lagi untuk penata usahaan anggaran unit usaha yang dimiliki daerah seperti BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Oleh karena BLUD ini adalah bagian dari harta pemerintah daerah yang tidak dapat dipisahkan, maka kebutuhan pendanaan BLUD juga masih banyak yang berasal dari Pemerintah Dearah pemilik BLUD. Dengan kata lain, pihak Pemerintah Daerah masih mencantumkan kebutuhan dana BLUD tersebut di APBDnya. Konsekuensinya, dalam pelaksanaan sistem pencatatan di BLUD tersebut mengacu pada Permendagri 13/2006 dan Peraturan Pemerintah No. 24 tahunn 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sedang BLUD itu sendiri, juga memiliki pedoman tersendiri dalam pengelolaan keuangannya yaitu Permendagri No. 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD yang berseberangan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahunn 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Lantas, bagaimana kinerja BLUD itu dapat dilihat jika aturan yang digunakan antara BLUD dan tim penilai adalah berbeda?

Simpulan
Kenyataan di atas menunjukan masih banyaknya permasalahan yang tersimpan di sekitar pengelolaan keuangan daerah dalam hal penyusunan APBD. Ini terbukti dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan keuangan daerah seperti pihak pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan badan-badan pengawas/pemeriksa keuangan, yang memegang aturan yang tidak sama terhadap hal yang sama. Sebagai konsekuensi logisnya, maka kinerja yang diharapkan dari setiap pihak sukar untuk dicapai secara optimal. Untuk itu, maka perlu suatu kesepakatan dan pengevaluasian ulang atas semua peraturan yang telah dikeluarkan melalui banyak cara seperti public hearing, diskusi-diskusi, sosialisasi, dan lain sebagainya.

Staf Ahli Badan Penelitian dan Pengembangan Prov. SUMUT,
Peneliti pada Sumatera Economic and Public Policies Study (SEPPS)
dan Staf Pengajar FE UNIMED-Medan
Email: muhishak67@yahoo.com
Izack_mis@yahoo.com
LOGIKA EKONOMI, MERAMBAH KE BIROKRAT?
Oleh:
Muhammad Ishak *)


People of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ands in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meetings, by any law which either could be executed, or would be consistence with liberty and justice. But though the law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together, it ought to do nothing to facilities such assembling; much less to render then necessary.
(Adam Smith)


Ucapan seorang piawai dalam bidang ekonomi di atas, walau diucapkannya di tahun 1776, namun masih benar adanya hingga kini. Kalau begitu, terlalu lama sudah “ kebenaran “ logika ekonomi yang diajarkan kepada masyarakat Indonesia, tanpa ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih perlu dipertanyakan. Kebenaran ajaran/logika tersebut, tidak hanya terbatas untuk kalangan masyarakat kampus saja, tapi “ kebenaran “ itu telah merambah mulai dari tingkat rumah tangga hingga ke birokrat. Tidak jarang kita mendengar bahwa seseorang, sebelum mengeluarkan sumber daya yang dimiliki, terlebih dahulu melakukan evaluasi tentang kos dan benefit atas pengeluaran tersebut. Bahkan, kita juga kerap mendengar dari suatu percakapan kalimat “apa untungnya”. Begitulah kondisi umum yang dipertontonkan kepada kita dan kita sebagai penonton tanpa mau untuk membicarakan tontonan tadi bahkan kita menganggap tontonan itu merupakan sebuah tontonan yang memberi ketakjuban. Benarkah tontonan yang ditayangkan itu dibangun dari suatu skenario atau ajaran yang memiliki serangkaian asumsi-asumsi dengan tingkat keabsahan yang tinggi? Jika benar tinggi, mengapa skenario atau ajaran tersebut tidak dapat memecahkan berbagai permasalah ekonomi yang dihadapi oleh bangsa saat ini? Mengapa praktek-praktek ekonomi yang ada saat ini melahirkan suatu kecenderungan bagi pelaku-pelakunya untuk bersikap serakah (selfish/mementingkan diri sendiri)? Benarkah setiap manusia selalu bersikap rasional dalam setiap tindak tanduk yang diambil terkait dengan aspek-aspek ekonomi? Skenario, ajaran, atau logika apa yang mendasari dijualnya barang-barang tiruan/palsu atau yang telah kadaluarsa oleh para pelaku skenario (pebisnis).

Logika Ekonomi sampai di Birokrat ?
Kalau diperhatikan, kelihatannya logika ekonomi yang kita persepsikan telah banyak memberi kontribusi dalam pembangaunan bangsa ini, menjadikan “leader” dari logika-logika lainnya termasuk logika etika, sosial, dan bahkan keagamaan yang terbukti dari masalah konsumsi para jemaah haji yang nyaris menelantarkan jemaah haji kita. Akibat persepsi yang demikian itu, maka kita tidak pernah memunculkan pertanyaan bahwa apakah logika ekonomi tidak menyimpan banyak problematik sehingga semua persoalan ekonomi lebih ditekankan pada aspek-aspek teknis, peluang, sumberdaya manusia, modal kerja, dan lain sebagainya yang berbau ekonomi?
Jika pelaku bisnis berparadigma pada kebenaran logika untung rugi, bagaimana pula dengan para birokrat? Memang benar, saat ini bangsa kita merupakan bangsa dalam kondisi yang serba sulit. Kesulitan itu nyaris terjadi di semua sendi kehidupan. Namun, apakah kesulitan tadi merupakan alasan logis untuk mengedepankan logika ekonomi dibanding logika-logika lainnya di dalam mencari solusi alternatifnya. Apakah untuk menghidupkan ekonomi suatu daerah, masing-masing Kepala Daerah hanya berharap dari datangnya investor ke daerahnya. Apakah kita telah lupa bahwa investor itu mau melakukan investasi hanya jika investasinya akan menghasilkan keuntungan. Ini hanya beberapa contoh saja dari banyak bentuk pertanyaan yang masih perlu dijelaskan oleh logika ekonomi sebelum memanfaatkannya. Jika ditinjau lebih jauh, logika ekonomi yang telah merambah hingga ke lingkungan birokrat, memiliki konsekuensi besar pada banyak aspek terutama pada aspek-aspek non ekonomi seperti cara pandang. Saat ini misalnya, seseorang dikatakan berhasil jika orang tersebut mampu mengakumulasi materi dengan tanpa mau melihat cara pengakumulasian serta akibat yang ditimbulkannya. Pandangan seperti ini jelas merupakan hasil dari penggunaan logika ekonomi. Sebab hanya logika ekonomilah yang membicarakan dan memberi rangsangan untuk dapat mengakumulasi materi/aset dengan tanpa keterbatasan. Bagaimana mungkin kita mampu untuk melakukan penumpukan aset padahal pihak lain membutuhkannya. Ketegaan kita melakukan ini, hanya logika ekonomilah yang membenarkannya. Jika logika yang seperti ini dipersepsikan benar sehingga logis untuk dipertahankan dan bahkan tidak perlu dipertanyakan keabsahannya, lantas pertanyaannya, mengapa penggunaan logika ekonomi ini tidak juga kunjung mampu untuk mengangkat kondisi ekonomi bangsa ini? Inilah bentuk pekerjaan rumah yang terbesar yang ada dipundak kita terutama para masyarakat yang hidupnya bergelut dengan konsep, teori, serta penelitian pada bidang kajian ekonomi. Masihkah kita meyakini bahwa logika ekonomi yang kita gunakan sekarang tidak menyimpan banyak masalah. Masih kurang yakinkah kita akan pendekatan logika ekonomi dalam versi lain yang telah diterapkan sehingga mengatarkan Dr. Muhammad Yunus meraih Nobel di bidang ekonomi. Kalau begitu, maka apa yang telah, sedang, dan akan dipikirkan oleh para ekonom, pelaku usaha, dan birokrat untuk meningkatkan kondisi ekonomi sehingga hasil kerja para ekonom, pelaku usaha, dan birokrat tidak lagi hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja. Masih menjadi pertanyaan yang sangat logis untuk diajukan.
SEPPS: SISI LAIN PENYEBAB LONJAKAN HARGA
Oleh:
Muhammad Ishak *)

Dalam logika berfikirnya para ahli ekonomi, harga itu tercipta sebagai akibat dari adanya kesepakatan antara pembeli (konsumen) dan penjual (produsen/penjual) untuk suatu jenis barang tertentu. Jika logika seperti ini yang kita gunakan untuk mengenali masalah gejolak harga di pasar, maka memahami perilaku si pembeli/konsumen dan si penjual/produsen/pedagang sebagai pihak yang bermain di pasar dan sekaligus pencipta harga di pasar, adalah sesuatu yang urgen sifatnya untuk dibicarakan selain membicarakan aspek-aspek ekonomi secara fisik seperti kelangkaan barang di pasar dan efek pasar global terhadap pasar lokal, dan lain sebagainya. Alur logika para ahli ekonomi yang mengutamakan pada pendekatan berbasis pasar menyatakan bahwa naiknya harga suatu komoditas/barang terjadi manakala jumlah permintaan yang diminta oleh si pembeli/konsumen lebih besar dibanding jumlah barang yang tersedia di pasar untuk memenuhi permintaan si pembeli tersebut atau terjadi jika jumlah barang yang siap untuk dijual tetapi tidak ada penjual yang mau menjualnya alias menumpuk barang tersebut untuk tujuan tertentu si penjual. Namun, logika para ahli ekonomi itu, pun masih perlu juga kita kaji ulang guna mencari sebuah solusi yang paling efektif untuk meredam lonjakan harga di pasar atas suatu barang tertentu tersebut.

Solusi yang Tidak Solusif
Jika diamat amati, kajian masalah gejolak harga di pasar oleh para ahli ekonomi, akan sangat didominasi oleh aspek-aspek ekonomi yang pada kenyataannya tidaklah selamanya harus demikian. Para ahli ekonomi mencoba untuk menginventarisir beberapa penyebab bergejolaknya harga di pasar, katakanlah seperti menghilangnya barang di pasar seperti dalam kasus kacang kedelai, minyak goreng, minyak tanah, dan lain sebagainya. Kalau inilah kondisinya, pertanyaannya adalah apa betul barang yang menghilang di pasaran itu dikarenakan tidak dihasilkan lagi oleh yang pihak menghasilkan/produsen. Atau, tidak adanya barang di pasar lebih dikarenakan oleh sebab lain seperti penumpukan di suatu lokasi dan oleh pihak tertentu? Ini merupakan permasalahan-permasalah yang ada di seputar diri para penjual/produsen. Apa betul kelangkaan kacang kedelai di pasar dikarenakan negara paman sam sebagai salah satu negara pemasuk kacang kedelai mengalami gagal panen yang berakibat pada naiknya harga kedelai hingga pada titik yang sulit dijangkai oleh konsumen yang memiliki keterbatasan dana atau naiknya harga kedelai dikarenakan oleh faktor lain seperti yang pernah dilansir oleh salah satu media cetak lokal bahwa kedelai ditumpuk di satu lokasi oleh pihak penjual (Medan Bisnis, 26 Januari 2008).
Masalah gagal panen, jika inilah penyebab langkanya kacang kedelai di pasar yang menjadi penyebab tingginya harga di pasar, maka sama artinya dengan adanya suatu mekanisme alam yang mulai kurang bersahabat dengan kebutuhan manusia atas kedelai. Jika kelangkaan kacang kedelai itu dikarenakan adanya penumpukan di satu tempat tertentu, maka sama artinya bahwa proses distribusi yang ada tidak bersahabat dengan kebutuhan publik. Namun, jika kelangkaan kedelai itu dikarenakan tidak maunya pemiliki kedelai (pedagang/pengusaha) untuk menjual kedelainya dalam jangka waktu tertentu dengan harapan agar harga melonjak naik sehingga keuntungan yang mereka dapatkan bisa mencapai maksimal, maka ini sama artinya dengan bahwa pedagang/pengusaha itu tidak bersahabat dengan kepentingan publik atas kedelai tersebut. Lantas selanjutnya, jika kondisi yang ketiga itulah yang terjadi (pedagang tidak mau menjual kedelai yang dimilikinya), maka para ahli ekonomi tidak memiliki suatu analisis yang logis guna mencegah perilaku/tindakan para pengusaha kita ini tadi dan bahkan para ahli ekonomi cenderung berdalih bahwa kondisi ini bukan menjadi areal kajiannya dan bahkan mendiskreditkan pihak-pihak lain. Kasus yang seperti ini tidak saja terjadi untuk komoditas kedelai, tetapi juga untuk komoditi-komoditi penting lainnya seperti minyak tanah yang juga telah dilansir oleh salah satu media cetak lokal bahwa bahwa ada pengusaha/produsen yang menumpuk minyak tanah dengan harapan akan memperoleh laba yang lebih besar lagi atau menjual minyak tanah ke lokasi-lokasi yang secara ekonomi lebih memberikan keuntugan yang lebih besar baginya.
Pertanyaan selanjutnya adalah salahkah logika para pedagang/produsen kita ini. Secara ekonomi, dapat kita pastikan bahwa itulah pedagang yang sukses kata para ahli ekonomi. Sebab hal ini sejalan dengan logikanya para ahli ekonomi yaitu bagaimana caranya mendapatkan keuntungan secara maksimal yang dalam kajian ekonomi, sikap si pedagang/konsumen tersebut merupakan sikap yang ada dalam makna homo economicus yaitu bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang secara teus menerus harus menggunakan rasionalitasnya dalam bersikap. Oleh karenanya, maka sikap yang ahir dari logika si pedagang/produsen tadi adalah benar adanya. Lantas, bagaimana pula dari sisi si pembeli/konsumen yang tidak kalah pentingnya dengan si pedagang/produsen tadi. Si konsumen juga memiliki logika yang sejalan dengan logikanya para ahli ekonomi yaitu bagaimana agar konsumsi yang mereka lakukan dapat memberikan kepuasan yang paling maksimal bagi diri mereka. Logika inilah yang tanpa disadari oleh para konsumen akan memposisikan diri mereka ke posisi yang lebih lemah dibanding posisi si produsen walaupun ke duanya semestinya saling mempengaruhi dan saling memiliki kekuatan sendiri-sendiri. Sebab, logika yang “ maksimalkan kepuasan “ itu sangat mudah dipermainkan oleh si pedagang/ produsen. Artinya, kepuasan yang maksimal yang menjadi target si konsumen itu merupakan variabel yang membuat si konsumen merelakan dirinya tergantung ada keputusan-keputusan si pedagang/produsen. Padahal, jika si konsumen mau saja sedikit berfikir, ketergantungan dengan si produsen ini dapat dihindari. Ketergantungan ini yang membuat si pedagang/produsen berani menimbun barang-barang dagangan yang dimilikinya untuk ditangguhkannya ke pasar. Di sinilah sisi-sisi yang kurang bahkan tidak diperhitungkan/dikaji oleh para ahli ekonomi kita. Sehingga, inventarisasi penyebab bergejolaknya harga suatu komoditas, menjadi relatif kurang memberikan manfaat bagi pencarian solusi atas masalah gejolak harga di pasar.

Simpulan
Jika melihat lebih jauh lagi, terindikasi oleh kita bahwa apa-apa yang disarankan oleh para ahli ekonomi, jika diterapkan, akan memiliki dampak seperti yang dibicarakan di atas. Memang benar bahwa tidak ada gading yang tidak retak, tetapi mengapa keretakan gading itu terjadi dengan bentuk yang sama dari satu gading dengan gading lainnya. Artinya, mengapa masalah-masalah ekonomi seperti kelangkaan barang di pasar mengakibatkan atau berbuah pada hal-hal yang sama yaitu merugikan banyak pihak atau masyarakat luas yang tidak memiliki modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya atas komoditas yang bergejolak tadi harganya. Padahal, sasaran akhir dari suatu kebijakan ekonomi, semestinya berujung pada peningkatan masyarakat luas bukan pada segelintir masyarakat saja. Inilah sisi kajian yang lain yang lebih layak untuk dikaji oleh para ahli ekonomi atas masalah gejolak harga di pasar tersebut.



*) Staf Ahli Badan Penelitian dan Pengembangan Prov. SUMUT,
Peneliti pada Sumatera Economic and Public Policies Study
dan Staf Pengajar FE UNIMED-Medan
Email: muhishak67@yahoo.com
Izack_mis@yahoo.com
LOGIKA EKONOMI, MERAMBAH KE BIROKRAT?
Oleh:
Muhammad Ishak *)

People of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ands in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meetings, by any law which either could be executed, or would be consistence with liberty and justice. But though the law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together, it ought to do nothing to facilities such assembling; much less to render then necessary.
(Adam Smith)


Ucapan seorang piawai dalam bidang ekonomi di atas, walau diucapkannya di tahun 1776, namun masih benar adanya hingga kini. Kalau begitu, terlalu lama sudah “ kebenaran “ logika ekonomi yang diajarkan kepada masyarakat Indonesia, tanpa ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih perlu dipertanyakan. Kebenaran ajaran/logika tersebut, tidak hanya terbatas untuk kalangan masyarakat kampus saja, tapi “ kebenaran “ itu telah merambah mulai dari tingkat rumah tangga hingga ke birokrat. Tidak jarang kita mendengar bahwa seseorang, sebelum mengeluarkan sumber daya yang dimiliki, terlebih dahulu melakukan evaluasi tentang kos dan benefit atas pengeluaran tersebut. Bahkan, kita juga kerap mendengar dari suatu percakapan kalimat “apa untungnya”. Begitulah kondisi umum yang dipertontonkan kepada kita dan kita sebagai penonton tanpa mau untuk membicarakan tontonan tadi bahkan kita menganggap tontonan itu merupakan sebuah tontonan yang memberi ketakjuban. Padahal, benarkah tontonan yang ditayangkan itu dibangun dari suatu skenario atau ajaran yang memiliki serangkaian asumsi-asumsi dengan tingkat keabsahan yang tinggi? Jika benar tinggi, mengapa skenario atau ajaran tersebut tidak dapat memecahkan berbagai permasalah ekonomi yang dihadapi oleh bangsa saat ini? Mengapa praktek-praktek ekonomi yang ada saat ini melahirkan suatu kecenderungan bagi pelaku-pelakunya untuk bersikap serakah (selfish/mementingkan diri sendiri)? Benarkah setiap manusia selalu bersikap rasional dalam setiap tindak tanduk yang diambil terkait dengan aspek-aspek ekonomi? Skenario, ajaran, atau logika apa yang mendasari dijualnya barang-barang tiruan/palsu atau yang telah kadaluarsa oleh para pelaku skenario (pebisnis). Skenario apa yang dipakai oleh para birokrat sehingga bermunculanlah masalah-maslah keuangan di lingkungan birokrat seperti masalah Persetujuan Rancangan Undang-Undang Bank Indonesia antara pihak Bank Indonesia dan Pihak DPR RI, kasus-kasus keuangan yang melibatkan banyak Kepala Daerah, serta Skenario, ajaran, atau logika apa pula yang digunakan para birokrat sehingga Menteri Keuangan Kita pada Forum CEO Kompas 100 menyatakan bahwa “Birokrat bukanlah Malaikat, sehingga dihimbau kepada para pelaku bisnis untuk tidak menggoda mereka”, begitu pula dengan munculnya masalah PP No 2 tahun 2008 (Kompas, 6 Maret 2008). Tidak cukup sampai di sini saja, masih banyak permasalahan lain yang muncul di tengah-tengah kita yang jika disadari bahwa permasalahan tersebut berasal dari penggunaan skenario, ajaran, atau logika ekonomi. Katakanlah masalah penarikan saham yang ada di maskapai penerbangan Adam Air dimana penarikan saham itu hanya beralasan pada hal yang sangat sederhana yaitu untung rugi (Kompas, 17 Maret 2008). Kalau alasan ini yang dipakai menjadi dasar penarikan saham, maka apa bedanya dengan alasan yang dipakai oleh para pelaku ekonomi rakyat dengan memasukan Formalin di barang dagangannya? Selain itu, bagaimana mungkin visi misi republik ini yaitu Indonesia Cerdas akan tercapai di tahun 2030 jika saat ini para generasi penerusnya telah menelan banyak pesoalan seperti gizi buruk, tingkat pendidikan yang rendah serta dipertontonkan dengan pertunjukan-pertunjukan yang mencengangkan oleh generasi saat ini dengan skenario/ajaran/logika ekonomi yang diterapkan saat ini. Padahal kita sama-sama tahu bahwa 22 tahun bukanlah waktu yang lama untuk membangun suatu generasi yang berkualitas.

Ada Apa Dengan Logika Ekonomi
Kalau diperhatikan, kelihatannya logika ekonomi yang kita persepsikan telah banyak memberi kontribusi dalam pembangaunan bangsa ini, menjadikan “leader” dari logika-logika lainnya termasuk logika etika, sosial, dan bahkan keagamaan yang terbukti dari masalah konsumsi para jemaah haji yang nyaris menelantarkan jemaah haji kita. Akibat persepsi yang demikian itu, maka kita tidak pernah memunculkan pertanyaan bahwa apakah logika ekonomi tidak menyimpan banyak problematik sehingga semua persoalan ekonomi lebih ditekankan pada aspek-aspek teknis, peluang, sumberdaya manusia, modal kerja, dan lain sebagainya yang berbau ekonomi? Katakanlah seperti logika untung rugi di atas. Kalau pelaku bisnis baik berskala kecil, menengah, dan besar selalu bersandar pada logika untung rugi ini, lantas untuk apa diadakan CSR (Corporate Social Responsibility) yang secara perhitungan bisnis lebih banyak pengorbanannya (cost) / ruginya dibanding manfaatnya (benefit) / untungnya. Jika pelaku bisnis berparadigma pada kebenaran logika untung rugi, bagaimana pula dengan para birokrat?
Memang benar, saat ini bangsa kita merupakan bangsa dalam kondisi yang serba sulit. Kesulitan itu nyaris terjadi di semua sendi kehidupan. Namun, apakah kesulitan tadi merupakan alasan logis untuk mengedepankan logika ekonomi dibanding logika-logika lainnya di dalam mencari solusi alternatifnya. Apakah untuk menghidupkan ekonomi suatu daerah, masing-masing Kepala Daerah hanya berharap dari datangnya investor ke daerahnya. Apakah kita telah lupa bahwa investor itu mau melakukan investasi hanya jika investasinya akan menghasilkan keuntungan. Ini hanya beberapa contoh saja dari banyak bentuk pertanyaan yang masih perlu dijelaskan oleh logika ekonomi sebelum memanfaatkannya.
Jika ditinjau lebih jauh, logika ekonomi yang telah merambah hingga ke lingkungan birokrat, memiliki konsekuensi besar pada banyak aspek terutama pada aspek-aspek non ekonomi seperti cara pandang. Saat ini misalnya, seseorang dikatakan berhasil jika orang tersebut mampu mengakumulasi materi dengan tanpa mau melihat cara pengakumulasian serta akibat yang ditimbulkannya. Pandangan seperti ini jelas merupakan hasil dari penggunaan logika ekonomi. Sebab hanya logika ekonomilah yang membicarakan dan memberi rangsangan untuk dapat mengakumulasi materi/aset dengan tanpa keterbatasan. Bagaimana mungkin kita mampu untuk melakukan penumpukan aset padahal pihak lain membutuhkannya. Ketegaan kita melakukan ini, hanya logika ekonomilah yang membenarkannya. Jika logika yang seperti ini dipersepsikan benar sehingga logis untuk dipertahankan dan bahkan tidak perlu dipertanyakan keabsahannya, lantas pertanyaannya, mengapa penggunaan logika ekonomi ini tidak juga kunjung mampu untuk mengangkat kondisi ekonomi bangsa ini? Inilah bentuk pekerjaan rumah yang terbesar yang ada dipundak kita terutama para masyarakat yang hidupnya bergelut dengan konsep, teori, serta penelitian pada bidang kajian ekonomi. Masihkah kita meyakini bahwa logika ekonomi yang kita gunakan sekarang tidak menyimpan banyak banyak masalah. Masih kurang yakinkah kita akan pendekatan logika ekonomi dalam versi lain yang telah diterapkan sehingga mengatarkan Dr. Muhammad Yunus meraih Nobel di bidang ekonomi. Kalau begitu, maka apa yang telah, sedang, dan akan dipikirkan oleh para ekonom, pelaku usaha, dan birokrat untuk meningkatkan kondisi ekonomi sehingga hasil kerja para ekonom, pelaku usaha, dan birokrat tidak lagi hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja. Masih menjadi pertanyaan yang sangat logis untuk diajukan.


*) Staf Ahli Badan Penelitian dan Pengembangan Prov. SUMUT,
Peneliti pada Sumatera Economic and Public Policies Study
dan Staf Pengajar FE UNIMED-Medan
Email: muhishak67@yahoo.com
Izack_mis@yahoo.com
KUR dan UMKM
Oleh:
Muhammad Ishak*)
“ Patah tumbuh hilang berganti “. Inilah kata-kata orang bijak yang sesuai untuk menggantikan posisi UMKM yang ada saat ini. Namun, siapa yang patah dan siapa pula yang mematahkannya, siapa yang tumbuh dan siapa pula yang menumbuhkannya, masih menjadi sesuatu yang tampaknya belum serius untuk dibicarakan khususnya di kalangan para ekonom.

Hampir semua komponen bangsa ini merasa prihatin kepada para pelaku UMKM atas berbagai masalah yang ada di sekitar UMKM. Bahkan permasalahan yang muncul belakangan adalah dengan dinaikkannya harga BBM oleh pemerintah. Akibat kebijakan menaikan harga BBM tersebut, banyak pihak yang termasuk para akademisi untuk berpartisipasi memprotes bahkan bahkan cenderung membaikot kebijakan itu dengan beragam alasan dan argumen yang diberikan. Kenyataan ini, selain menambah panjangnya daftar masalah di sekitar UMKM, juga membawa ke arah spekulasi-spekulasi yang sukar untuk diprediksi.
Terlepas dari apapun yang direkomendasikan para analis, apapun yang diprotes para mahasiswa, dan apapun yang akan dilakukan oleh para spekulan, kebijakan itu tetap berjalan sebagaimana yang telah diskenariokan awalnya. Lantas, bagaimana dengan nasib UMKM kita ini? Cukupkah UMKM “ dipandang “ sebagai pihak yang harus diperhatikan? Cukupkah UMKM “ dianggap “ sebagai pihak yang membutuhkan kucuran dana sehingga pemerintah menetapkan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Bagaimana pula dengan unit-unit usaha lain yang bukan dikelompokan sebagai UMKM. Di sinilah perlu kajian serius untuk melahirkan suatu bentuk perencanaan strategis bagi kelangsungan usaha UMKM.

KUR, mau kemana?
KUR yang diperuntukan kepada masyarakat pelaku usaha yang bergolongan ekonomi lemah, bukanlah kebijakan pemerintah yang pertama. Program/kebijakan sejenis telah pernah digulirkan oleh pemerintah seperti Kredit Usaha Tani (KUT), pola dana bergulir, program Impres Daerah Tertinggal (IDT) dan bentuk lainnya. Kesemua bentuk program/kebijakan seperti itu telah menjadi warna umum dari UMKM. Namun, program/kebijkan tersebut tampaknya belum menghasilkan sesuatu sebagaimana yang diharapkan. Kalaupun tampak seperti sudah berhasil, namun akan hilang lagi pada saat terjadi goncangan-goncangan ekonomi katakanlah seperti goncangan yang dipicu oleh kenaikan harga BBM. Kalau demikian adanya maka pertanyaan yang harus muncul semestinya pada saat hilangnya capaian program bantuan tadi adalah mengapa begitu cepat capaian/hasil program tersebut hilang?, dan siapa/apa yang menghilangkan capaian/ hasil tadi dan yang terakhir adalah siapa yang terkena imbas dari hilangnya capaian tadi? Jenis-jenis pertanyaan yang seperti inilah yang dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk menyusun program bantuan ke pelaku ekonomi lemah (UMKM) tersebut, termasuk pada KUR tadi.

Pada sisi lain, KUR sebenarnya hanya merupakan sebuah rangsangan untuk bergeraknya ekonomi rakyat. Tapi, sama seperti program-program bantuan sebelumnya, KUR juga dipersepsikan oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Namun, benarkah persepsi yang demikian, masih perlu dikaji secara serius dan berkelanjutan. Yang jelas, apakah KUR mampu meningkatkan ekonomi rakyat (UMKM) atau tidak, KUR telah bergulir. Kesan apa yang timbul di logika kita atas KUR tadi bukan merupakan jaminan untuk dapat diwujudkan. Masih banyak hal lain yang ikut serta di dalam setiap persepsi tadi. Ini dibuktikan dengan banyaknya analis memberi komentar atas Program KUR itu. Ada yang setuju, ada yang tidak, yang pasti UMKM adalah pihak yang menjadi objek kajian yang berakhir pada kebijakan yang terkesan oleh khalayak ramai sebagai bentuk “perhatian” pada UMKM. Sementara itu, UMKM sendiri masih berjalan di tempat dan bahkan cenderung mundur, tidak seperti pelaku-pelaku ekonomi yang berkapasitas besar alias non UMKM.

Penutup
Bentuk perhatian yang selama ini diwujudkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, belum memberi makna yang signifikan pada peran yang dimainkan oleh UMKM dalam skenario ekonomi nasional. Walaupun dalam angka, bentuk perhatian itu besar, namun lagi-lagi UMKM tidak bisa bangkit. Kalaupun bangkit hanya ada di seputaran 5 hingga 10 persen dari total pelaku UMKM itu yang ada. Selain dipertontonkan dengan gaya bermain para pelaku ekonomi yang berkapasitas besar, pelaku UMKM juga “dipaksa” untuk ikut dalam satu skenario sistem ekonomi global yaitu arena bersaing dimana dana adalah sebagai jenderal lapangannya. Ini merupakan suatu skenario besar yang tersistematis untuk menahan kondisi UMKM berada pada level yang sukar untuk meningkat. Inilah yang membuat UMKM terkesan “Hidup Segan Mati Tak Mau” dan “Patah Tumbuh Hilang Berganti“ alias begitu-begitu saja. Jika begini kondisinya, apa yang bisa dibuat oleh UMKM dan lebih jauh lagi, apa yang telah dan akan difikirkan oleh para ahli ekonomi kita atas kondisi ini, masih ditunggu reponsibilitasnya sebagai pihak yang memiliki segudang ilmu ekonomi.
APBD PLUS
Oleh:
Muhammad Ishak *)

APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan alat acuan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan kegiatan rutinnya dalam rangka pelayanan publik secara prima. Sebagai sebuah media pengelolaan keuangan daerah, APBD hendaknya menjadi suatu bentuk yang dapat memanifestasikan atas apa yang akan dilakukan, apa yang akan dicapai, dan yang terpenting adalah mengapa itu dilakukan dan untuk siapa hasilnya nanti. Namun, jarang sekali idealnya suatu anggaran dapat diwujudkan. Tetapi, malah menjadi suatu Ajang Perdebatan dan Beda Dambaan (APBD Plus) diantara pihak-pihak yang terkait dengan anggaran tersebut. Kenyataan ini akan lebih rumit lagi adanya manakala anggaran tersebut dijadikan alat untuk mengevaluasi kinerja masing-masing instansi/lembaga pengguna anggaran. Fenomena perdebatan inilah yang sering kali menjadi tontonan masyarakat baik di awal-awal tahun maupun di penghujung suatu tahun anggaran.

APBD di Awal Tahun
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2008 ini APBD masih memiliki proses penyelesain yang sangat alot. Ini terbukti dari masih sedikitnya APBD yang telah disetujui oleh pihak legeslatif untuk dijadikan sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang akan disampaikan ke Departemen Keuangan dan Dalam Negeri. Padahal, pihak pemerintah pusat yaitu Departemen Keuangan melalui Surat Dirjen Perimbangan Keuangan No. S-194/PK/2007 tertanggal 20 Juli 2007 perihal proses penyusunan APBD 2008, telah dilayangkan ke seluruh gubernur/bupati/walikota dan para pimpinan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Melalui surat ini, diharapkan bahwa semua daerah baik di Tingkat I maupun II, telah memiliki APBD di awal-awal tahun 2008. Sebab, isi surat tersebut telah menjelaskan apa-apa yang harus disiapkan oleh masing-masing daerah sebagai tahapan-tahapan penyusunan APBD. Namun, mengapa APBD untuk tahun 2008 ini, tidak juga kunjung jadi. Banyak penyebabnya yang diantaranya adalah masalah kepada siapa APBD itu diperuntukan. Secara ideal, dapat kita sebutkan bahwa APBD itu diperuntukan kepada kepentingan masyarakat luas. Ini terlihat dari salah satu tahapan penting dalam penyusunan APBD yang mengharuskan adanya penjaringan aspirasi masyarakat. Melalui tahapan ini, maka kebutuhan/kepentingan masyarakat yang menjadi dambaan mereka dapat terealisir secara bertahap maupun langsung. Namun, seberapa luas aspirasi itu diwujudkan lewat APBD yang disahkan oleh DPRD, masih menjadi pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut.
Pada sisi lain, APBD itu jika menurut Surat Dirjen di atas, seharusnya telah dimulai proses penyusunannya paling lambat pada Bulan Juni tahun berjalan (Juni 2007) sehingga diharapkan sebelum tahun anggaran 2008 dimulai, seluruh pemerintah daerah telah memiliki Perda tentang APBD Tahun Aggaran 2008. Apakah harapan itu terwujud, dapat kita jawab dari kenyataan yang ada bahwa belum ada satu pun pemerintah daerah baik di Tingkat I maupun II di lingkungan SUMUT yang telah memiliki Perda tentang APBD Tahun Anggaran 2008 sebelum dimulainya tahun 2008. Salahkah Surat Dirjen kita ini? Jika dikatakan salah, maka berarti Depkeu yang dalam hal ini adalah Dirjen Perimbangan Keuangan adalah pihak yang mengada-ada atau pihak yang tidak mengerti masalah yang terjadi di daerah. Kalau inilah yang terjadi, tentunya pemerintah pusat adalah pihak yang memberi kontribusi atas kekacauan dalam proses penyusunan APBD. Namun, jika dikatakan tidak salah, maka pertanyaannya adalah mengapa bisa telat APBD itu hadir yang akhirnya berimplikasi luas pada proses pelayanan kepada publik. Di pihak pemerintah daerah, dapat kita katakan bahwa keterlambatan itu lebih dikarenakan adanya banyak kelemahan pada SDM yang dimiliki. Dalam artian, bahwa SDM yang menangani masalah anggaran masih memilki keterbatasan kemampuan. Kemampuan SDM yang ada adalah kemampuan yang tidak sesuai dengan kriteria untuk mengerjakan penyusunan APBD. Cukupkah kualitas SDM ini dijadikan alasan atas keterlambatannya APBD tersusun. Bukankah sebelum diterapkannya aturan-aturan dalam penyusunan APBD, pihak pemerintah daerah telah banyak mendidik para SDM yang dimiliki ke berbagai pelatihan dan pendidikan serta pemerintah daerah telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi atas peraturan dan teknis-teknis penyusunan anggaran. Jadi, masih ada kemungkinan lain yang menjadi penyebab keterlambatan itu terjadi seperti masalah munculnya berbagai perbedaan harap/damba/kepentingan atas isi APBD tersebut. Perbedaan ini terjadi diantara pihak-pihak yang terkait di dalam proses menghadirkan APBD yang telah di-Perda-kan itu. Kenyataan ini jika benar adanya, maka adalah logis jika APBD itu bukan merupakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tetapi merupakan Ajang Perdebatan dan Beda Damba.

APBD di Penghujung Tahun
Salah satu penyebab dari munculnya berbagai permasalahan di setiap penghujung suatu tahun anggaran, adalah keterlambatan dalam perumusan APBD hingga menjadi Perda. Permasalahan yang sangat mengejutkan adalah munculnya suatu keheranan pada diri Menteri Keuangan atas arus keuangan di daerah. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) merasa heran, mengapa pencairan dana sangat signifikan terjadi di akhir atau penghujung tahun anggaran. Padahal, di dalam APBD itu juga telah diatur jadual penggunaannya melalui pelaksanaan kegiatan yang telah diprogramkan sebelumnya. Ini dapat kita ketahui sebagai efek dari keterlambatan penyusunan APBD tersebut. Tetapi tidaklah cukup hanya dengan alasan demikian. Masih banyak lagi alasan lainnya seperti terjadinya perbedaan damba/harap selama proses pelaksanaan APBD berjalan. Selama pelaksanaan APBD, banyak hal yang kurang berkenan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan APBD. Bahkan lebih dari itu, adanya kondisi yang tidak konstruktif sifatnya di saat APBD tahun berjalan akan dipertanggung jawabkan. Ini adalah bagian-bagian yang nyaris tidak terelakan selama APBD dijalankan. Lebih jauh lagi, Ajang Perdebatan dan Beda Damba ini berimplikasi pada tersingkirnya kepentingan/damba masyarakat untuk dibicarakan walaupun APBD itu sebenarnya diperuntukan kepada masyarakat. Artinya, seberapa besar APBD itu telah mampu mengoreksi penghambat munculnya apa-apa yang didamba masyarakat atau berapa besar kontribusi APBD yang mereka rasakan untuk memunculkan apa-apa yang mereka dambakan, belum sempat untuk dibahas. Sangatlah jarang kita lihat bahwa adanya suatu bentuk kajian yang terpublikasi tentang hasil dari dikeluarkanya belanja tertentu untuk kegiatan tertentu di lokasi tertentu telah membawa dampak positif bagi masyarakat luas di lokasi kegiatan tertentu itu. Dengan kata lain, belanja yang dikeluarkan dengan bersumber pada APBD, apakah telah mampu mewujudkan apa-apa yang didambakan oleh masyarakat. Jangan-jangan, banyaknya belanja yang telah dikeluarkan, hanya memiliki pengaruh yang sangat minim terhadap perwujudan apa yang didambakan oleh masyarakat. Kalau demikian, maka apa lagi yang dapat diharapkan oleh masyarakat dari hadirnya APBD.

Simpulan Memang benar bahwa untuk mengenyampingkan damba/harap dari suatu kegiatan merupakan suatu hal yang nyaris tidak mungkin. Bahkan harap ini yang menjadi pemicu dalam melakukan suatu kegiatan. Logika ini benar adanya jika dihadapkan dengan bentuk-bentuk yang terkait dengan APBD. Tinggal lagi, bagaimana harap yang muncul jangan sampai mematikan harap pihak lain. Persoalannya adalah harap siapa yang semestinya dikedepankan di dalam APBD adalah sebagai kunci pembahasan awal APBD. Untuk itu, maka paradigma penjaringan aspirasi masyarakat merupakan suatu paradigma yang layak dikedepankan dan ditangani secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan, agar APBD tidak menjadi singkatan dari Ajang Perdebatan dan Beda Damba.
KESETIAKAWANAN SOSIAL Vs LOGIKA EKONOMI
Oleh:
Muhammad Ishak *


Pendahuluan
Seperti hari-hari nasional lainnya, Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) selalu diperingati oleh masyarakat Indonesia. Beragam tema peringatan yang dirancang di berbagai tempat perayaan, menjadi motor penggerak pelaksanaannya. Berbagai macam rupa bentuk-bentuk tindakan sosial serta berbagai ragam pula pemikiran bermunculan. Ada yang mencoba untuk sekedar mengingatkan bahwa Bangsa ini adalah bangsa yang memiliki jiwa sosial/gotong royong, ada juga yang mencoba untuk mencari basis hubungan antar manusia, dan lebih jauh lagi, ada yang mencoba untuk memberikan suatu pemikiran yang pada akhirnya bermuara pada kesatuan berbangsa. Namun, pernahkan kita berfikir bahwa efektifkah kegiatan perayaan peringatan HKSN tersebut. Pertanyaan ini merupakan satu bentuk masalah yang perlu keseriusan dalam melakukan evaluasi efektifitas pelaksanaan perayaan HKSN itu sendiri. Selain untuk menilai efektivitas kegiatan, juga sekaligus untuk melihat pergesaran sosial yang terjadi di masyarakat.

Manusia dan Ekonomi
Dahulu, Indonesia dikenal dengan lewat budaya sosialnya yang penuh dengan keramah tamahan, bertoleransi yang tinggi, dan berjiwa sosial dan bergotong royong dalam kehidupan sehari hari masyarakatnya. Kenyataan ini memang benar adanya pada masa lalu. Tetapi, sangat sukar sudah kita temui di masa sekarang terlebih lebih di daerah-daerah yang dikelompokan ke daerah metropolitan/kota-kota besar seperti Kota Medan. Pergesaran-pergeseran pada nilai-nilai kehidupan bersosial masyarakat hampir-jempir tidak dapat dibendung lagi. Bahkan, diperparah lagi dengan belum adanya alat yang mampu membendung hal-hal yang menjadi penyebab munculnya pergeseran tersebut seperti logika ekonomi.
Apakah dengan terdapatnya produk-produk di pasar yang telah kadaluarsa, produk-produk yang dipalsukan, dan produk-produk yang mengandung unsur-unsur yang tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia, belum cukup sebagai bukti terjadinya pergeseran pada basis berhubungan antar manusia. Lantas, mengapa secara cepat masyarakat kita menjatuhkan vonis bahwa pedagang/produsen itu salah! Jarang sekali kita dengar bahwa vonis dialamatkan kepada konsumen terhadap produk-produk yang diindikasikan seperti di atas. Padahal dalam sudut pandang ekonomi, ada 3 kelompok besar masyarakat yang menjadi pilar bergeraknya roda suatu perekonomian yaitu masyarakat produsen, konsumen, dan distributor. Ke-3 kelompok masyarakat tersebut masing-masingnya, sama-sama menggunakan logika ekonomi dalam menjalankan kehidupannya sehari hari. Produser memiliki logika ekonomi (memaksimalkan keuntungan), konsumen juga memiliki logika ekonomi (memaksimalkan kepuasan dengan penghasilan/pendapatan yang terbatas), begitu pula dengan distributor yang relatif sama dengan logikanya para produser. Lantas, jika logika ekonomi tersebut diterima dan bahkan dilegalkan untuk diamalkan oleh masyarakat, bagaimana jadinya dengan logika kesetiakawanan? Apakah cukup arif jika kita katakan bahwa antara logika ekonomi dan logika kesetiakawanan yang berbasis pada pola saling membantu/gotong royong, adalah 2 hal yang saling beda dan tidak saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Kalaulah kita sepakat dengan pernyataan ini, maka pertanyaannya adalah hal mana yang lebih dominan dan sering dilakukan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari hari, apakah logika ekonomi atau logika kesetiakawanan? Tanpa perlu usaha yang serius untuk mencari jawabannya, kita dapat memastikan bahwa logika ekonomi adalah yang lebih sering dan dominan dalam kehidupan sehari hari masyarakat. Selanjutnya, jika kita sepakati bahwa logika ekonomi lebi dikedepankan oleh masyarakat dibanding logika kesetiakawanan, masih efektifkah pelaksanaan peringatan/perayaan itu dilakukan? Dengan alasan logis yang manakah bahwa pelaksanaan peringatan HKSN itu dapat memberikan masukan bermakna bagi masyarakat agar kembali pada bentuk-bentuk spirit masa lalu yaitu kesetiakawanan sosial dalam kehidupannya.
Kalu dilihat lebih jauh, tidaklah dapat kita sangkal bahwa bergulirnya logika ekonomi adalah bentuk yang tidak terkalahkan oleh logika manapun. Berfikiran dengan pendekatan untung dan rugi serta biaya dan manfaat telah menjadi landasan masyarakat dalam bersikap, bertindak, dan lebih dalam lagi yaitu berpendapat. Basis berfikir seperti ini, tidak saja ada di lingkungan mereka-mereka yang dekat dengan masalah/kajian ekonomi, tetapi juga telah berada pada lingkungan kajian-kajian yang jauh dengan ekonomi seperti masalah kesetiakawanan sosial. Kita masih berfikir untung atau rugi walaupun kita sedang membicarakan masalah-masalah sosial. Kita juga masih bersandar pada pendekatan-pendekatan ekonomi walaupun dalam topik-topik bahasan yang mencakup pada materi-materi seperti melakukan hubungan baik sesama manusia maupun alam di sekitar. Sebagai contoh misalnya, kita mau malakukan hubungan dengan pihak/orang lain, tetapi tetap saja kita masih berfikir, ” apa manfaat dan keuntungan yang dapat diraih jika berhubungan dengan pihak/orang tersebut dijalankan ”? Oleh para ekonom logika seperti contoh ini adalah logis atau benar adanya sebab mereka diajari bahwa manusia dalam setiap sikap dan tindakannya harus rasional dan manusia diasumsikan sebagai homo economicus, sehingga, tidaklah salah jika kita berfikir demikian. Logika ini tidak saja beredar di kalangan ekonom, tetapi juga di kalangan non ekonom. Inilah bentuk-bentuk logika ekonomi yang bergulir secara lebih cepat dibanding bentuk-bentuk logika lainnya termasuk logika kesetiakawanan yang berbasis pada pola-pola tidak memiliki harap apapun di dalam setiap hubungan yang dilakukannya.

Penutup Bahasan yang singkat tersebut, seyogyanya menjadi bahan pemikiran baik di kalngan para akademisi (ekonom dan ahli lainnya) maupun di kalangan aparatur pemerintah selaku pihak yang memliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi dan non ekonomi lainnya. Para ekonom sudah selayaknya mulai berfikir yang tidak lagi semata-mata bersandar pada logika ekonomi saja tetapi secara bertahap untuk mau dan mampu berfikir dengan pendekatan-pendekatan berbasis pada masyarakat Indonesia yang dibentuk lewat bentukan-bentukan sosial/gotong royong. Begitu pula adanya dengan pihak-pihak non ekonom yang sudah selayaknya secara terus menerus melakukan pencarian atas bentuk-bentuk kesetiakawanan yang secara meyakinkan dapat digunakan sebagai bendungan dari laju logika ekonomi.