Monday, December 22, 2008

LOGIKA EKONOMI, MERAMBAH KE BIROKRAT?
Oleh:
Muhammad Ishak *)

People of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ands in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meetings, by any law which either could be executed, or would be consistence with liberty and justice. But though the law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together, it ought to do nothing to facilities such assembling; much less to render then necessary.
(Adam Smith)


Ucapan seorang piawai dalam bidang ekonomi di atas, walau diucapkannya di tahun 1776, namun masih benar adanya hingga kini. Kalau begitu, terlalu lama sudah “ kebenaran “ logika ekonomi yang diajarkan kepada masyarakat Indonesia, tanpa ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih perlu dipertanyakan. Kebenaran ajaran/logika tersebut, tidak hanya terbatas untuk kalangan masyarakat kampus saja, tapi “ kebenaran “ itu telah merambah mulai dari tingkat rumah tangga hingga ke birokrat. Tidak jarang kita mendengar bahwa seseorang, sebelum mengeluarkan sumber daya yang dimiliki, terlebih dahulu melakukan evaluasi tentang kos dan benefit atas pengeluaran tersebut. Bahkan, kita juga kerap mendengar dari suatu percakapan kalimat “apa untungnya”. Begitulah kondisi umum yang dipertontonkan kepada kita dan kita sebagai penonton tanpa mau untuk membicarakan tontonan tadi bahkan kita menganggap tontonan itu merupakan sebuah tontonan yang memberi ketakjuban. Padahal, benarkah tontonan yang ditayangkan itu dibangun dari suatu skenario atau ajaran yang memiliki serangkaian asumsi-asumsi dengan tingkat keabsahan yang tinggi? Jika benar tinggi, mengapa skenario atau ajaran tersebut tidak dapat memecahkan berbagai permasalah ekonomi yang dihadapi oleh bangsa saat ini? Mengapa praktek-praktek ekonomi yang ada saat ini melahirkan suatu kecenderungan bagi pelaku-pelakunya untuk bersikap serakah (selfish/mementingkan diri sendiri)? Benarkah setiap manusia selalu bersikap rasional dalam setiap tindak tanduk yang diambil terkait dengan aspek-aspek ekonomi? Skenario, ajaran, atau logika apa yang mendasari dijualnya barang-barang tiruan/palsu atau yang telah kadaluarsa oleh para pelaku skenario (pebisnis). Skenario apa yang dipakai oleh para birokrat sehingga bermunculanlah masalah-maslah keuangan di lingkungan birokrat seperti masalah Persetujuan Rancangan Undang-Undang Bank Indonesia antara pihak Bank Indonesia dan Pihak DPR RI, kasus-kasus keuangan yang melibatkan banyak Kepala Daerah, serta Skenario, ajaran, atau logika apa pula yang digunakan para birokrat sehingga Menteri Keuangan Kita pada Forum CEO Kompas 100 menyatakan bahwa “Birokrat bukanlah Malaikat, sehingga dihimbau kepada para pelaku bisnis untuk tidak menggoda mereka”, begitu pula dengan munculnya masalah PP No 2 tahun 2008 (Kompas, 6 Maret 2008). Tidak cukup sampai di sini saja, masih banyak permasalahan lain yang muncul di tengah-tengah kita yang jika disadari bahwa permasalahan tersebut berasal dari penggunaan skenario, ajaran, atau logika ekonomi. Katakanlah masalah penarikan saham yang ada di maskapai penerbangan Adam Air dimana penarikan saham itu hanya beralasan pada hal yang sangat sederhana yaitu untung rugi (Kompas, 17 Maret 2008). Kalau alasan ini yang dipakai menjadi dasar penarikan saham, maka apa bedanya dengan alasan yang dipakai oleh para pelaku ekonomi rakyat dengan memasukan Formalin di barang dagangannya? Selain itu, bagaimana mungkin visi misi republik ini yaitu Indonesia Cerdas akan tercapai di tahun 2030 jika saat ini para generasi penerusnya telah menelan banyak pesoalan seperti gizi buruk, tingkat pendidikan yang rendah serta dipertontonkan dengan pertunjukan-pertunjukan yang mencengangkan oleh generasi saat ini dengan skenario/ajaran/logika ekonomi yang diterapkan saat ini. Padahal kita sama-sama tahu bahwa 22 tahun bukanlah waktu yang lama untuk membangun suatu generasi yang berkualitas.

Ada Apa Dengan Logika Ekonomi
Kalau diperhatikan, kelihatannya logika ekonomi yang kita persepsikan telah banyak memberi kontribusi dalam pembangaunan bangsa ini, menjadikan “leader” dari logika-logika lainnya termasuk logika etika, sosial, dan bahkan keagamaan yang terbukti dari masalah konsumsi para jemaah haji yang nyaris menelantarkan jemaah haji kita. Akibat persepsi yang demikian itu, maka kita tidak pernah memunculkan pertanyaan bahwa apakah logika ekonomi tidak menyimpan banyak problematik sehingga semua persoalan ekonomi lebih ditekankan pada aspek-aspek teknis, peluang, sumberdaya manusia, modal kerja, dan lain sebagainya yang berbau ekonomi? Katakanlah seperti logika untung rugi di atas. Kalau pelaku bisnis baik berskala kecil, menengah, dan besar selalu bersandar pada logika untung rugi ini, lantas untuk apa diadakan CSR (Corporate Social Responsibility) yang secara perhitungan bisnis lebih banyak pengorbanannya (cost) / ruginya dibanding manfaatnya (benefit) / untungnya. Jika pelaku bisnis berparadigma pada kebenaran logika untung rugi, bagaimana pula dengan para birokrat?
Memang benar, saat ini bangsa kita merupakan bangsa dalam kondisi yang serba sulit. Kesulitan itu nyaris terjadi di semua sendi kehidupan. Namun, apakah kesulitan tadi merupakan alasan logis untuk mengedepankan logika ekonomi dibanding logika-logika lainnya di dalam mencari solusi alternatifnya. Apakah untuk menghidupkan ekonomi suatu daerah, masing-masing Kepala Daerah hanya berharap dari datangnya investor ke daerahnya. Apakah kita telah lupa bahwa investor itu mau melakukan investasi hanya jika investasinya akan menghasilkan keuntungan. Ini hanya beberapa contoh saja dari banyak bentuk pertanyaan yang masih perlu dijelaskan oleh logika ekonomi sebelum memanfaatkannya.
Jika ditinjau lebih jauh, logika ekonomi yang telah merambah hingga ke lingkungan birokrat, memiliki konsekuensi besar pada banyak aspek terutama pada aspek-aspek non ekonomi seperti cara pandang. Saat ini misalnya, seseorang dikatakan berhasil jika orang tersebut mampu mengakumulasi materi dengan tanpa mau melihat cara pengakumulasian serta akibat yang ditimbulkannya. Pandangan seperti ini jelas merupakan hasil dari penggunaan logika ekonomi. Sebab hanya logika ekonomilah yang membicarakan dan memberi rangsangan untuk dapat mengakumulasi materi/aset dengan tanpa keterbatasan. Bagaimana mungkin kita mampu untuk melakukan penumpukan aset padahal pihak lain membutuhkannya. Ketegaan kita melakukan ini, hanya logika ekonomilah yang membenarkannya. Jika logika yang seperti ini dipersepsikan benar sehingga logis untuk dipertahankan dan bahkan tidak perlu dipertanyakan keabsahannya, lantas pertanyaannya, mengapa penggunaan logika ekonomi ini tidak juga kunjung mampu untuk mengangkat kondisi ekonomi bangsa ini? Inilah bentuk pekerjaan rumah yang terbesar yang ada dipundak kita terutama para masyarakat yang hidupnya bergelut dengan konsep, teori, serta penelitian pada bidang kajian ekonomi. Masihkah kita meyakini bahwa logika ekonomi yang kita gunakan sekarang tidak menyimpan banyak banyak masalah. Masih kurang yakinkah kita akan pendekatan logika ekonomi dalam versi lain yang telah diterapkan sehingga mengatarkan Dr. Muhammad Yunus meraih Nobel di bidang ekonomi. Kalau begitu, maka apa yang telah, sedang, dan akan dipikirkan oleh para ekonom, pelaku usaha, dan birokrat untuk meningkatkan kondisi ekonomi sehingga hasil kerja para ekonom, pelaku usaha, dan birokrat tidak lagi hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja. Masih menjadi pertanyaan yang sangat logis untuk diajukan.


*) Staf Ahli Badan Penelitian dan Pengembangan Prov. SUMUT,
Peneliti pada Sumatera Economic and Public Policies Study
dan Staf Pengajar FE UNIMED-Medan
Email: muhishak67@yahoo.com
Izack_mis@yahoo.com

No comments: