Monday, December 22, 2008

KUR dan UMKM
Oleh:
Muhammad Ishak*)
“ Patah tumbuh hilang berganti “. Inilah kata-kata orang bijak yang sesuai untuk menggantikan posisi UMKM yang ada saat ini. Namun, siapa yang patah dan siapa pula yang mematahkannya, siapa yang tumbuh dan siapa pula yang menumbuhkannya, masih menjadi sesuatu yang tampaknya belum serius untuk dibicarakan khususnya di kalangan para ekonom.

Hampir semua komponen bangsa ini merasa prihatin kepada para pelaku UMKM atas berbagai masalah yang ada di sekitar UMKM. Bahkan permasalahan yang muncul belakangan adalah dengan dinaikkannya harga BBM oleh pemerintah. Akibat kebijakan menaikan harga BBM tersebut, banyak pihak yang termasuk para akademisi untuk berpartisipasi memprotes bahkan bahkan cenderung membaikot kebijakan itu dengan beragam alasan dan argumen yang diberikan. Kenyataan ini, selain menambah panjangnya daftar masalah di sekitar UMKM, juga membawa ke arah spekulasi-spekulasi yang sukar untuk diprediksi.
Terlepas dari apapun yang direkomendasikan para analis, apapun yang diprotes para mahasiswa, dan apapun yang akan dilakukan oleh para spekulan, kebijakan itu tetap berjalan sebagaimana yang telah diskenariokan awalnya. Lantas, bagaimana dengan nasib UMKM kita ini? Cukupkah UMKM “ dipandang “ sebagai pihak yang harus diperhatikan? Cukupkah UMKM “ dianggap “ sebagai pihak yang membutuhkan kucuran dana sehingga pemerintah menetapkan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Bagaimana pula dengan unit-unit usaha lain yang bukan dikelompokan sebagai UMKM. Di sinilah perlu kajian serius untuk melahirkan suatu bentuk perencanaan strategis bagi kelangsungan usaha UMKM.

KUR, mau kemana?
KUR yang diperuntukan kepada masyarakat pelaku usaha yang bergolongan ekonomi lemah, bukanlah kebijakan pemerintah yang pertama. Program/kebijakan sejenis telah pernah digulirkan oleh pemerintah seperti Kredit Usaha Tani (KUT), pola dana bergulir, program Impres Daerah Tertinggal (IDT) dan bentuk lainnya. Kesemua bentuk program/kebijakan seperti itu telah menjadi warna umum dari UMKM. Namun, program/kebijkan tersebut tampaknya belum menghasilkan sesuatu sebagaimana yang diharapkan. Kalaupun tampak seperti sudah berhasil, namun akan hilang lagi pada saat terjadi goncangan-goncangan ekonomi katakanlah seperti goncangan yang dipicu oleh kenaikan harga BBM. Kalau demikian adanya maka pertanyaan yang harus muncul semestinya pada saat hilangnya capaian program bantuan tadi adalah mengapa begitu cepat capaian/hasil program tersebut hilang?, dan siapa/apa yang menghilangkan capaian/ hasil tadi dan yang terakhir adalah siapa yang terkena imbas dari hilangnya capaian tadi? Jenis-jenis pertanyaan yang seperti inilah yang dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk menyusun program bantuan ke pelaku ekonomi lemah (UMKM) tersebut, termasuk pada KUR tadi.

Pada sisi lain, KUR sebenarnya hanya merupakan sebuah rangsangan untuk bergeraknya ekonomi rakyat. Tapi, sama seperti program-program bantuan sebelumnya, KUR juga dipersepsikan oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Namun, benarkah persepsi yang demikian, masih perlu dikaji secara serius dan berkelanjutan. Yang jelas, apakah KUR mampu meningkatkan ekonomi rakyat (UMKM) atau tidak, KUR telah bergulir. Kesan apa yang timbul di logika kita atas KUR tadi bukan merupakan jaminan untuk dapat diwujudkan. Masih banyak hal lain yang ikut serta di dalam setiap persepsi tadi. Ini dibuktikan dengan banyaknya analis memberi komentar atas Program KUR itu. Ada yang setuju, ada yang tidak, yang pasti UMKM adalah pihak yang menjadi objek kajian yang berakhir pada kebijakan yang terkesan oleh khalayak ramai sebagai bentuk “perhatian” pada UMKM. Sementara itu, UMKM sendiri masih berjalan di tempat dan bahkan cenderung mundur, tidak seperti pelaku-pelaku ekonomi yang berkapasitas besar alias non UMKM.

Penutup
Bentuk perhatian yang selama ini diwujudkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, belum memberi makna yang signifikan pada peran yang dimainkan oleh UMKM dalam skenario ekonomi nasional. Walaupun dalam angka, bentuk perhatian itu besar, namun lagi-lagi UMKM tidak bisa bangkit. Kalaupun bangkit hanya ada di seputaran 5 hingga 10 persen dari total pelaku UMKM itu yang ada. Selain dipertontonkan dengan gaya bermain para pelaku ekonomi yang berkapasitas besar, pelaku UMKM juga “dipaksa” untuk ikut dalam satu skenario sistem ekonomi global yaitu arena bersaing dimana dana adalah sebagai jenderal lapangannya. Ini merupakan suatu skenario besar yang tersistematis untuk menahan kondisi UMKM berada pada level yang sukar untuk meningkat. Inilah yang membuat UMKM terkesan “Hidup Segan Mati Tak Mau” dan “Patah Tumbuh Hilang Berganti“ alias begitu-begitu saja. Jika begini kondisinya, apa yang bisa dibuat oleh UMKM dan lebih jauh lagi, apa yang telah dan akan difikirkan oleh para ahli ekonomi kita atas kondisi ini, masih ditunggu reponsibilitasnya sebagai pihak yang memiliki segudang ilmu ekonomi.

No comments: