Monday, December 22, 2008

APBD PLUS
Oleh:
Muhammad Ishak *)

APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan alat acuan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan kegiatan rutinnya dalam rangka pelayanan publik secara prima. Sebagai sebuah media pengelolaan keuangan daerah, APBD hendaknya menjadi suatu bentuk yang dapat memanifestasikan atas apa yang akan dilakukan, apa yang akan dicapai, dan yang terpenting adalah mengapa itu dilakukan dan untuk siapa hasilnya nanti. Namun, jarang sekali idealnya suatu anggaran dapat diwujudkan. Tetapi, malah menjadi suatu Ajang Perdebatan dan Beda Dambaan (APBD Plus) diantara pihak-pihak yang terkait dengan anggaran tersebut. Kenyataan ini akan lebih rumit lagi adanya manakala anggaran tersebut dijadikan alat untuk mengevaluasi kinerja masing-masing instansi/lembaga pengguna anggaran. Fenomena perdebatan inilah yang sering kali menjadi tontonan masyarakat baik di awal-awal tahun maupun di penghujung suatu tahun anggaran.

APBD di Awal Tahun
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2008 ini APBD masih memiliki proses penyelesain yang sangat alot. Ini terbukti dari masih sedikitnya APBD yang telah disetujui oleh pihak legeslatif untuk dijadikan sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang akan disampaikan ke Departemen Keuangan dan Dalam Negeri. Padahal, pihak pemerintah pusat yaitu Departemen Keuangan melalui Surat Dirjen Perimbangan Keuangan No. S-194/PK/2007 tertanggal 20 Juli 2007 perihal proses penyusunan APBD 2008, telah dilayangkan ke seluruh gubernur/bupati/walikota dan para pimpinan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Melalui surat ini, diharapkan bahwa semua daerah baik di Tingkat I maupun II, telah memiliki APBD di awal-awal tahun 2008. Sebab, isi surat tersebut telah menjelaskan apa-apa yang harus disiapkan oleh masing-masing daerah sebagai tahapan-tahapan penyusunan APBD. Namun, mengapa APBD untuk tahun 2008 ini, tidak juga kunjung jadi. Banyak penyebabnya yang diantaranya adalah masalah kepada siapa APBD itu diperuntukan. Secara ideal, dapat kita sebutkan bahwa APBD itu diperuntukan kepada kepentingan masyarakat luas. Ini terlihat dari salah satu tahapan penting dalam penyusunan APBD yang mengharuskan adanya penjaringan aspirasi masyarakat. Melalui tahapan ini, maka kebutuhan/kepentingan masyarakat yang menjadi dambaan mereka dapat terealisir secara bertahap maupun langsung. Namun, seberapa luas aspirasi itu diwujudkan lewat APBD yang disahkan oleh DPRD, masih menjadi pertanyaan yang perlu dicermati lebih lanjut.
Pada sisi lain, APBD itu jika menurut Surat Dirjen di atas, seharusnya telah dimulai proses penyusunannya paling lambat pada Bulan Juni tahun berjalan (Juni 2007) sehingga diharapkan sebelum tahun anggaran 2008 dimulai, seluruh pemerintah daerah telah memiliki Perda tentang APBD Tahun Aggaran 2008. Apakah harapan itu terwujud, dapat kita jawab dari kenyataan yang ada bahwa belum ada satu pun pemerintah daerah baik di Tingkat I maupun II di lingkungan SUMUT yang telah memiliki Perda tentang APBD Tahun Anggaran 2008 sebelum dimulainya tahun 2008. Salahkah Surat Dirjen kita ini? Jika dikatakan salah, maka berarti Depkeu yang dalam hal ini adalah Dirjen Perimbangan Keuangan adalah pihak yang mengada-ada atau pihak yang tidak mengerti masalah yang terjadi di daerah. Kalau inilah yang terjadi, tentunya pemerintah pusat adalah pihak yang memberi kontribusi atas kekacauan dalam proses penyusunan APBD. Namun, jika dikatakan tidak salah, maka pertanyaannya adalah mengapa bisa telat APBD itu hadir yang akhirnya berimplikasi luas pada proses pelayanan kepada publik. Di pihak pemerintah daerah, dapat kita katakan bahwa keterlambatan itu lebih dikarenakan adanya banyak kelemahan pada SDM yang dimiliki. Dalam artian, bahwa SDM yang menangani masalah anggaran masih memilki keterbatasan kemampuan. Kemampuan SDM yang ada adalah kemampuan yang tidak sesuai dengan kriteria untuk mengerjakan penyusunan APBD. Cukupkah kualitas SDM ini dijadikan alasan atas keterlambatannya APBD tersusun. Bukankah sebelum diterapkannya aturan-aturan dalam penyusunan APBD, pihak pemerintah daerah telah banyak mendidik para SDM yang dimiliki ke berbagai pelatihan dan pendidikan serta pemerintah daerah telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi atas peraturan dan teknis-teknis penyusunan anggaran. Jadi, masih ada kemungkinan lain yang menjadi penyebab keterlambatan itu terjadi seperti masalah munculnya berbagai perbedaan harap/damba/kepentingan atas isi APBD tersebut. Perbedaan ini terjadi diantara pihak-pihak yang terkait di dalam proses menghadirkan APBD yang telah di-Perda-kan itu. Kenyataan ini jika benar adanya, maka adalah logis jika APBD itu bukan merupakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tetapi merupakan Ajang Perdebatan dan Beda Damba.

APBD di Penghujung Tahun
Salah satu penyebab dari munculnya berbagai permasalahan di setiap penghujung suatu tahun anggaran, adalah keterlambatan dalam perumusan APBD hingga menjadi Perda. Permasalahan yang sangat mengejutkan adalah munculnya suatu keheranan pada diri Menteri Keuangan atas arus keuangan di daerah. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) merasa heran, mengapa pencairan dana sangat signifikan terjadi di akhir atau penghujung tahun anggaran. Padahal, di dalam APBD itu juga telah diatur jadual penggunaannya melalui pelaksanaan kegiatan yang telah diprogramkan sebelumnya. Ini dapat kita ketahui sebagai efek dari keterlambatan penyusunan APBD tersebut. Tetapi tidaklah cukup hanya dengan alasan demikian. Masih banyak lagi alasan lainnya seperti terjadinya perbedaan damba/harap selama proses pelaksanaan APBD berjalan. Selama pelaksanaan APBD, banyak hal yang kurang berkenan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan APBD. Bahkan lebih dari itu, adanya kondisi yang tidak konstruktif sifatnya di saat APBD tahun berjalan akan dipertanggung jawabkan. Ini adalah bagian-bagian yang nyaris tidak terelakan selama APBD dijalankan. Lebih jauh lagi, Ajang Perdebatan dan Beda Damba ini berimplikasi pada tersingkirnya kepentingan/damba masyarakat untuk dibicarakan walaupun APBD itu sebenarnya diperuntukan kepada masyarakat. Artinya, seberapa besar APBD itu telah mampu mengoreksi penghambat munculnya apa-apa yang didamba masyarakat atau berapa besar kontribusi APBD yang mereka rasakan untuk memunculkan apa-apa yang mereka dambakan, belum sempat untuk dibahas. Sangatlah jarang kita lihat bahwa adanya suatu bentuk kajian yang terpublikasi tentang hasil dari dikeluarkanya belanja tertentu untuk kegiatan tertentu di lokasi tertentu telah membawa dampak positif bagi masyarakat luas di lokasi kegiatan tertentu itu. Dengan kata lain, belanja yang dikeluarkan dengan bersumber pada APBD, apakah telah mampu mewujudkan apa-apa yang didambakan oleh masyarakat. Jangan-jangan, banyaknya belanja yang telah dikeluarkan, hanya memiliki pengaruh yang sangat minim terhadap perwujudan apa yang didambakan oleh masyarakat. Kalau demikian, maka apa lagi yang dapat diharapkan oleh masyarakat dari hadirnya APBD.

Simpulan Memang benar bahwa untuk mengenyampingkan damba/harap dari suatu kegiatan merupakan suatu hal yang nyaris tidak mungkin. Bahkan harap ini yang menjadi pemicu dalam melakukan suatu kegiatan. Logika ini benar adanya jika dihadapkan dengan bentuk-bentuk yang terkait dengan APBD. Tinggal lagi, bagaimana harap yang muncul jangan sampai mematikan harap pihak lain. Persoalannya adalah harap siapa yang semestinya dikedepankan di dalam APBD adalah sebagai kunci pembahasan awal APBD. Untuk itu, maka paradigma penjaringan aspirasi masyarakat merupakan suatu paradigma yang layak dikedepankan dan ditangani secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan, agar APBD tidak menjadi singkatan dari Ajang Perdebatan dan Beda Damba.

No comments: