Sunday, November 30, 2008

JUDI dan SISTEM PEREKONOMIAN BANGSA:
Diskusi Singkat Antara Dua Pakar



Pendahuluan
Sejak dahulu kala hingga sekarang, berjudi adalah suatu kegiatan negatif di negara ini. Karena dianggap negatif, maka judi dianggap sebagai suatu masalah yang perlu keseriusan penangannya. Kegiatan berjudi ini disebut sebagai kegiatan klasik sebab selain judi telah ada sejak lama sekali, judi juga juga menjadi sumber penyebab munculnya banyak permasalahan, pakar sosialogi mengawali diskusinya dengan pakar pakar ekonomi di suatu tempat pertemuan. Coba bapak bayangkan, pakar sosialogi melanjutkan, untuk bisa berjudi, si penjudi harus punya: 1) uang, 2) berani tantangan; 3) mencari dan mengisi peluang untuk memiliki uang yang lebih banyak lagi; dan 4) kemampuan. Jadi, kalau seseorang ingin melakukan kegiatan judi, maka ia harus memiliki atau didukung oleh setidaknya 4 hal di atas.
Sepanjang yang saya tahu, judi itu merupakan suatu permainan yang memakai uang sebagai taruhannya, pakar sosialogi tadi mencoba memberi penjelasan secara akademik ke pakar ekonomi. Dan melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa kata berjudi itu, diartikan sebagai bentuk aktivitas yang mempertaruhkan sejumlah uang/aset di suatu permainan tebakan berdasar analisa kemungkinan tertebaknya permainan, dengan tujuan untuk mendapatkan uang/aset yang lebih besar daripada jumlah uang/aset semula. Si pakar ekonmi yang cerdas itu mulai berfikir untuk menganalisa pemikiran si pakar sosialogi dengan memberi komentar, “ kalau makna judi dan berjudi seperti itu “, lantas apa bedanya dengan pakar ekonomi dalam memaknai kata ekonomi dan berekonomi? Semua syarat yang harus dimiliki seorang penjudi, nyaris sama dengan syarat yang harus dimiliki oleh seorang yang mau berekonomi seperti duit, berani ambil resiko, terus menerus melihat dan memanfaatkan peluang, serta memiliki skill atau kemampuan. Nah, sekarang, bagaimana pula dengan sistem perekonomian yang dikembangkan bangsa ini? Si pakar ekonomi mulai mencari-cari kesamaan dan perbedaan antara berjudi dan berekonomi! Wah, kalau begitu, saya harus lihat terlebih dahulu sistem ekonomi yang diterapkan oleh bangsa ini. Setelah berfikir beberapa saat, si pakar ekonomi mencoba menjelaskan hal-hal yang terkait antara judi dan ekonomi melalui atribut-atribut yang terdapat di dalam bidang kajiannya yaitu ekonomi.

Judi dan Atribut-Atribut Ekonomi
Sebelum membahas masalah judi, mari kita bicarakan lebih dahulu atribut-atribut dasar yang membentuk teori-teori ekonomi yang terkait dengan judi itu, kata pakar ekonomi kepada pakar sosialogi. Dasar yang memotivasi manusia beraktivitas ekonomi, menurut pandangan ekonomi neo klasik (pandangan yang dianut oleh bangsa kita ini) adalah bahwa manusia memiliki kepentingan yang secara rasional harus dimaksimalkan. Kerasionalan ini termanifestasi dalam suatu pandangan bahwa “ adalah wajar jika manusia akan terus menerus dan senantiasa selalu berusaha untuk kepentingannya “, yang dalam bahasa ekonomi disebut Pemaksimalan Kemanfaatan (maximum utility). Pandangan ini, dilahirkan oleh asumsi bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sedang sumberdaya pemenuh kebutuhan manusia itu adalah terbatas. Beberapa atribut ekonomi neo klasik itu, antara lain meliputi:
1. Memenangkan Persaingan
Hampir semua pakar ekonomi bangsa kita ini sepakat bahwa untuk memenangkan persaingan maka kata kuncinya adalah meningkatkan daya saing. Jadi, semua pihak yang menghalangi peningkatan daya saing, dianggap sebagai ancaman. Inilah pemikiran para pakar ekonom dalam mengembangkan ekonomi bangsa atau suatu unit bisnis. Oleh karenanya, bagaimana maningkatkan daya saing adalah masalah besar yang harus diselesaikan. Jadi, salahkah jika kita memiliki pandangan demikian, kata pakar ekonomi tadi? Si pakar sosiologi secara cepat menjawab, “ jelas tidak “. Sebab, secara kenyataan, dia melihat bahwa praktek-praktek ekonomi mengarah pada pemikiran tersebut. Lalu, jika tidak salah, maka apa bedanya dengan perjudian, kata si pakar sosialogi, melanjutkan kebingungannya? Sebab, setiap pemain, akan terpacu logikanya secara terus menerus untuk meningkatkan daya saing agar bisa memenangkan permainan. Secara logis, si pakar ekonomi menjawab, “ ya, tidak ada bedanya! “.
2. Portofolio dan Suka Resiko ( Risk Taker )
Dalam bahasa ekonomi, tepatnya keuangan, portofolio merupakan pendekatan yang membicarakan tentang cara meminimumkan resiko/kerugian dan sekaligus memaksimalkan hasil/keuntungan dari mengkombinasikan beberapa peluang yang tercermin di dalam bentuk saham yang dibeli seorang investor. Berapa jumlah duit/aset yang dialokasikan ke saham A, B, dan C agar hasilnya dapat maksimal, si pakar ekonomi coba menjelaskan ke pakar sosiologi. Jika seperti ini adanya, dapatlah kita katakan bahwa seorang investor yang telah melakukan portofolio, tidak jauh berbeda dengan seorang penjudi yang juga melakukan portofolio saat menebarkan duitnya di meja judi, si pakar sosiologi mulai dapat memberi simpulan. Betul sekali, kata si pakar ekonomi. Lalu, pakar sosiologi itu mencoba untuk meyakinkan dirinya dengan berkata, sebab para pelaku judi, juga melakukan kombinasi permainan yang disediakan oleh pemilik kasino di meja judi. Lantas, bagaimana kaitannya dengan masalah suka pada resiko, si pakar sosiologi mulai menyoal secara mendalam?
Masalah suka resiko, juga ikut dibicarakan dalam bahasan ekonomi. Seorang pelaku bisnis, cenderung memiliki mental suka pada resiko, sebab dia mengejar keuntungan atau penambahan uang/asetnya yang paling besar atau paling maksimal dari kondisi yang ada, kata pakar ekonomi tadi. Nah, kalo begitu, ini juga menjadi ciri dari diri si pelaku judi yang suka dengan rsiko, si pakar sosiologi mencari kesamaan. Si pakar ekonomi tadi meng-iya-kan sambil bingung dengan logika ekonominya sendiri. Wah, kalau begitu, maka apa bedanya pelaku bisnis dengan pelaku judi tadi yang sama-sama gemar berspekulasi, dalam hati si pakar ekonomi.

3. Menciptakan peluang
Baik investor maupun pelaku judi akan secara konsisten untuk melirik dan menciptakan peluang. Kesamaan ini, juga sama-sama dimotori oleh 1 hal yaitu mencetak duit/aset yang lebih banyak dari yang telah ada. Motor ini berlaku baik bagi investor maupun pelaku judi. Nah, kog bisa sama lagi ya? Kata si pakar ekonomi. Selaku orang pakar sosiologi, maka diapun, menganggukkan kepalanya, sebagai tanda setuju. Nah, kita sekarang ke atribut ekonomi selanjutnya.
4. Keunggulan Bersaing
Kata “ keunggulan bersaing “ bukan kata baru dalam bahasan ekonomi. Namun, sadar atau tidak, para penjudi juga memiliki kosa kata yang demikian di dalam kamusnya yaitu untuk dapat memenangkan permainan, pemain harus memiliki keunggulan bersaing tertentu. Bagaimana keunggulan bersaing itu di ekonomi? Sifat ingin tahu si pakar sosiologi pun muncul? Para ekonom bangsa ini, memandang bahwa untuk memenangkan persaingan, harus memiliki keunggulan bersaing di semua lini, jawab si pakar ekonomi, singkat. Jadi, apa bedanya dengan bahasan perjudian tadi? Kata si pakar sosiologi. Ya, tidak ada, kata si pakar ekonomi. Tampak si pakar sosiologi mulai mewajarkan, mengapa judi sulit diberantas, maka si pakar ekonomi berkata, pak pakar sosiologi, ini atribut yang terakhir, walaupun masih banyak atribut yang lainnya, lho pak!

5. Moral/Etika
Moral, etika, dan sejenisnya nyaris tidak ditemui di dalam kajian ekonomi. Sebab, para ekonom bangsa ini, telah memisahkan antara ekonomi dan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti sosial dan budaya dalam kajiannya. Begitu pula dengan dunia perjudian. Dalam dunia judi, para pelaku judi nyaris tidak memiliki kosa kata moral dan etika di alam fikirannya. Jadi, kalau pun kita tampak mereka melakukan kegiatan-kegiatan bernuansa sosial, maka dapat kita sebut karena mereka memiliki kepentingan di dalam kegiatan tersebut. Bagi mereka, setiap duit/aset yang dikeluarkan dianggap sebagai biaya dan setiap biaya harus dapat memberi sesuatu yang pada gilirannya akan memperbanyak duit/aset yang mereka miliki dari yang semula.
Berdasar beberapa atribut ekonomi di atas, ternyata juga menjadi atribut di dalam dunia perjudian. Sehingga, jika semua manusia Indonesia mengikuti pola berfikir gaya para ekonom tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Indonesia akan menjadi suatu bangsa yang kegiatan ekonominya berpola seperti pola para penjudi. Sebab, setiap orang akan memaksimalkan pemenuhan kebutuhannya yang secara bersamaan juga berarti akan meminimalkan pemenuhan kebutuhan orang lain. Ini berarti, jika mewajarkan fenomena seperti itu, sama artinya, kita mewajarkan fenomena yang kita lihat di meja perjudian dimana pada saat yang bersamaan, ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dengan kata lain, fenomena yang mendasar dalam dunia berjudi tersebut, terdapat pula di dalam berekonomi. Disadari atau tidak, kita sama-sama mewajarkannya.

Simpulan
Jika membangun ekonomi bangsa melalui pendekatan ekonomi versi perjudian alias neo klasik, maka kondisi apa yang kemungkinan besar akan terjadi? Kalau tidak menjadi bangsa yang kaya, ya, menjadi bangsa yang miskin, jawab si pakar sosiologi dengan lugu. Tepat, kata si pakar ekonomi. Tetapi, masih ada lagi hal yang lebih penting yaitu bangsa kita sangat sukar dan hampir tidak mungkin memberantas perjudian dan sejenisnya. Sebab, para pelaku judi juga sekaligus dapat sebagai pelaku ekonomi dan tidak jarang juga menjadi pakar ekonomi atau ekonom. Selain itu, adanya sikap yang berpihak dari para pengambil kebijakan ekonomi untuk melegitimasi pola-pola ekonomi namun pola-pola bernuansa judi, dihentikan, suatu hal yang sia-sia sepertinya. Sebab, antara pola ekonomi dan pola judi adalah sama. Bagaimana ini, Pak pakar sosiologi? Tanya si pakar ekonomi yang sedang galau dengan ilmu yang dipahaminya. Apa mungkin memberantas judi tapi sistem ekonomi bangsa adalah seperti yang kita lihat yaitu bersistem judi? Wah, mengapa jadi kacau begini, yaa!! Dengan rasa malu dan tak percaya diri, si pakar ekonomi, permisi bergegas untuk pulang karena selain khawatir jika pakar sosiologi kita ini menyoal masalah mendasar lainnya dari ekonomi, juga khawatir jika dipertanyakan kontribusi dari pakar ekonomi untuk membangun ekonomi bangsa ini yang semakin banyak pakar ekonomi, bukan semakin baik ekonomi bangsa ini, tetapi semakin runyam dan tidak tentu arahnya.
INVESTOR DIUNDANG, PREDATOR YANG DATANG

Investor merupakan pihak yang diyakini akan mempu memberikan rangsangan signifikan atas keberlangsungan kegiatan ekonomi dan bahkan memberikan banyak sumbangan berarti di dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat pengangguran,membuka lapangan kerja, penyumbang devisa serta berdampak pada penanggulangan masalah kemiskinan, namun benarkah demikian adanya, masih memerlukan pembahasan!

Predator, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai suatu sosok hewan yang memangsa/memakan hewan lainnya yang lebih kecil dibanding dirinya. Jenis hewan ini, tanpa mau kompromi dan berfikir bahwa yang dimangsanya adalah hewan juga. Tetapi, walaupun demikian, masih saja kita dapat memakluminya sebab hewan itu adalah hewan. Bagaimana dengan investor?
Hampir-hampir tidak dapat disangkal, jika dikatakan bahwa bangsa ini sangat-sangat merasa perlu untuk mengundang para investor (pihak yang memiliki modal). Selain sebagai minyak pelumas untuk menjalankan kendaraan ekonomi bangsa, para investor juga diasumsikan sebagai pihak yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa termasuk pula ekonomi Sumatera Utara. Masih dalam kapasitas keyakinan – belum pada level kanyataan – para investor dapat dipersamakan dengan dewa penyelamat ekonomi. Keyakinan ini juga telah berimbas hingga ke daerah-daerah baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Jarang sekali kita mendengar daerah yang tidak membutuhkan kehadiran investor untuk membangun ekonomi daerahnya. Banyak daerah melalui kajian-kajian para tim ekonominya merasa bahwa tanpa hadirnya investor, akan sulit rasanya untuk bisa memajukan ekonomi daerahnya. Bahkan lebih maju lagi, telah banyak daerah yang sudah memulai untuk meminta izin kepada pemerintah pusat agar izin diberikan kepada mereka demi melakukan berbagai negosiasi/kerjasama serta kesepakatan-kesepakatan kepada pihak investor baik investor dalam maupun luar negeri. Benarkah dan akan terwujudkah harapan dan keyakinan daerah yang demikian itu? Kondisi masyarakat Sumatera Utara, walaupun tidak secara keseluruhan, khususnya para petani kopi yang bergabung di dalam Asosiasi Petani Kopi Sumatera Utara (APKSU) dan kondisi masyarakat Porsea dengan hadirnya Perusahaan Pengolahan Bubur Kayu dalam kapasitas besar, adalah contoh dari sederetan contoh-contoh yang dapat menjawab pertanyaan di atas (Medan Bisnis tanggal 16 Pebruari 2008). Artinya, kehadiran investor di tengah-tengah mereka bukan membawa perubahan positif dari kehidupan berekonomi mereka, tetapi malah sebaliknya. Buktinya, sampai saat ini, daerah sekitar tempat berdirinya perusahaan besar seperti di Porsea itu, tingkat penduduk miskin masih saja menjadi masalah besar. Katakanlah seperti Kabupaten Simalungun, Samosir, Toba Samosir, dan Humbang Hasundutan yang berdasarkan data BPS tahun 2006 masing-masing sebesar 19,39%; 30,59%; 17,85%; dan 22,14% yang jika dirata-ratakan masih berkisar 22,49% dari total penduduk di ke-4 kabupaten tersebut.
Menarik untuk disimak, diperhatikan, serta dianalisis. Apakah harapan dan keyakinan kita yang keliru alias berlebihan, atau implementasi dan teknis yang keliru sehingga kehadiran investor membawa dampak yang tidak seperti yang diharapkan. Resiko apa yang akan dihadapi masyarakat jika harapan tadi tidak menjadi kenyataan. Jika masih belum juga menjadi bagian penting dari proses mengundang para investor oleh pihak daerah, maka adalah layak untuk menyoal lebih lanjut perihal harapan atau teknis tersebut. Sebab, bukankah para perancang teknis serta penggagas hadirnya investor itu adalah mereka-mereka yang memiliki sederetan gelar dipundaknya yang telah dilegalisir oleh lembaga pendidikan tinggi dalam dan luar negeri. Jika pihak perancang teknis serta penggagas itu yang keliru, maka persoalannya ada di cara pandang mereka. Namun, apapun alasannya, kondisi yang merugikan petani kopi kita, telah terjadi. Inilah mungkin makna dari kalimat yang pernah diucapkan oleh Adam Smith (Bapak Ekonomi Dunia) bahwa para pelaku ekonomi – diantaranya para investor – TIDAK pernah diharapkan untuk memikirkan kepentingan umum dan bahkan terus berkonspirasi untuk melawan kepentingan umum demi kepentingan sendiri (keuntungan diri sendiri).
Lalu, bagaimana pula dengan daerah sebagai pihak yang mengundang investor? Masih belum jenuhkah untuk melayangkan undangan ke investor lainnya – terutama investor asing – dalam rangka pemulihan kesehatan ekonomi daerahnya? Apa standar yang dijadikan acuan oleh Sumatera Utara selaku pihak yang mengundang investor sehingga investor itu layak untuk diundang? Bukan tidak boleh melakukan undangan tersebut, tetapi pertanyaan-pertanyaan yang demikian, semestinya menjadi bagian terpenting di dalam proses untuk mengundang investor.

Model Manusia Ekonomi dan Investor
Investor, diyakini menjadi kata kunci dalam menjalankan roda perekonomian. Namun, pada sisi lainnya, investor juga telah menjadi kunci jawaban atas konsekuensi atau dampak yang ditimbulkan oleh investor sebagaimana yang kita lihat pada kasus APKSU tadi. Dengan melihat pada kasus ini tampak bahwa secara implisit, investor akan melakukan investasinya manakala ada peluang untuk mendapatkan keuntungan dari investasi yang dilakukannya itu. Kondisi dan premis tersebut, menimbulkan pertanyaan, apakah investor memandang kegiatan berinvertasi seperti di atas adalah hal yang keliru? Kita pasti berfikir dan menyimpulkan bahwa kegiatan investasi tersebut jika dilandasi oleh pemikiran di atas, adalah benar atau tidak keliru. Tetapi, apa yang kita lihat selanjutnya, manakala investor tersebut mengoperasikan investasinya berdasar pada hasil evaluasi tinjauan ekonominya (maksimum profit). Investor akan berusaha sekuatnya agar tujuan investasinya dapat tercapai, namun kita sebagai pihak yang mengundang investor, apakah mendapatkan keuntungan sebagaimana yang didapat oleh investor. Aneh rasanya jika kita menjawab “ ya “, sebab faktanya berbicara lain. Jadi, jika demikian adanya, apa yang menyebabkan kita mengundang para investor tersebut? Apa yang keliru di kita sehingga masyarakat kita tidak menikmati hasil dari hadirnya investor yang kita undang tersebut? Tragisnya lagi, kita mencoba untuk mewajarkan kalau investor tadi lebih banyak menerima keuntungan dibanding kita yang mengundang sebab mereka adalah pemilik modal. Jika ini yang diwajarkan maka apa yang dikatakan oleh orang bijak, “menjadi pembantu di rumah sendiri”, akan menjadi kenyataan.
Apa yang sebenarnya terjadi di kita sehingga kita mengundang investor? Dari sekian banyak alternatif jawaban, satu diantaranya adalah asumsi yang dipegang oleh tim-tim ekonomi kita sehingga sampai pada simpulan bahwa kita harus mengundang investor. Banyak asumsi yang dipegang oleh tim ekonomi daerah ini, tetapi dari sekian banyak asumsi tersebut, ada satu asumsi yang benar-benar terlupakan. Asumsi tersebut adalah bahwa para investor akan selalu dan terus selalu mencari keuntungan/laba secara maksimal dari investasi yang dilakukannya. Kalaulah kita fokus pada asumsi ini, maka untuk mengundang investor terutama investor asing, akan dapat dibatalkan minimal diperhitungkan kembali secara lebih teliti untuk mengundang investor tersebut. Bagi para investor, mencari laba atau keuntungan adalah sesuatu yang logis. Sebab hal ini adalah target penting bagi mereka. Inilah model manusia dalam perspektif ekonomi. Model ini menggambarkan bahwa manusia selaku investor akan selalu dan secara terus menerus memaksimalkan utilitasnya yang dalam bahasa masyarakat awam adalah mencari dan meningkatkan keuntungan/laba demi kepentingannya. Penggunaan asumsi ini kita refleksikan lewat gencarnya kita mengundang para investor agar datang sebagai penyelamat dari “kondisi ekonomi masyarakat“.

Penutup
Selain kasus APKSU, masih banyak lagi kasus yang sejenis yang mungkin belum terungkap. Terlepas dari dampak yang diberikan dari hadirnya investor, perbaikan atas pemahaman terhadap model manusia ekonomi (homo-economicus) untuk dijadikan pijakan atas kajian-kajian ekonomi Sumatera Utara adalah sesuatu yang urgen untuk dilaksanakan. Sebab, masyarakat Sumatera Utara adalah masyarakat yang akan diajak menuju ke nilai-nilai keramahan/kesantunan (homo-socius) dan juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki nilai-nilai Ketuhanan (homo-religius) seperti yang dilukiskan di dalam Visi Sumatera Utara. Jadi, jika inilah visi yang dicanangkan, maka pertanyaannya adalah kapan terwujudnya visi tersebut jika dalam menjalankan ekonomi hanya menggunakan pijakan lagika dari manusia bermodel ekonomi? Jadi, pada saat kita melakukan kegiatan ekonomi, mengkombinasikan pijakan antara model ekonomi dan model non ekonomi adalah formulasi yang lebih tepat. Dengan kata lain, undangan untuk para investor bukan permasalahan yang perlu dikhawatirkan manakala para pengundang memahami persis bahwa investor adalah model manusia dalam perspektif ekonomi yang secara terus menerus akan mencari keuntungan/laba.
BIROKRAT DAN LOGIKA EKONOMI


Di tahun 1776, orang bijak seperti Adam Smith pernah mengingatkan bahwa people of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ands in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. Ujaran Adam Smith ini adalah benar adanya dengan melihat konspirasi negatif yang terjadi di berbagai instansi pemerintah daerah maupun pusat.

Sedikit orang mau untuk melihat sebuah peristiwa konspirasi negatif dari sisi penyebabnya. Orang cenderung untuk melihatnya dari sisi akibat dan cara mencegahnya. Padahal, apapun yang dijadikan alat pencegahnya dan akibat yang dilahirkan dari peristiwa itu tetap belum mampu menjadi masukan berarti untuk menghentikan laju gerak konspirasi negatif itu. Kita lihat bagaimana peningkatan nominal gaji PNS yang dianggap dapat meminimalkan kasus konspirasi negatif ini, kurang efektif adanya. Meningkatnya nominal yang diterima itu tidak membawa dampak positif dan ini ditandai dari masih berjalannya masalah-masalah konspirasi negatif itu dengan mulus melalui banyak cara seperti meletakkan saling tukar kartu nama, mengajak makan para pegawai dan bentuk-bentuk lain guna menghasilkan sesuatu yang saling menguntungkan.
Kalau konspirasi negatif itu diartikan sebagai bentuk memperkaya diri sendiri secara “tidak sah” versi peraturan maka apa bedanya dengan memperkaya diri sendiri melalui bisnis menurut persepsi para ahli ekonomi. Oleh karena ekonom bangsa ini memiliki pemahaman yang dianggap oleh mereka adalah sesuatu yang telah “mapan” keberadaannya, maka seluruh kebijakan yang terkait ekonomi dan pelaksanaan bisnis itu pasti masih dianggap wajar. Tahukah para ekonom kalau buah pikiran mereka telah merasuk hingga di lingkungan birokrat seperti para birokrat yang dapat kita lihat sekarang ini? Kalau pelaku bisnis meraih kekayaan melalui usaha bisnis dengan tanpa melihat akibat yang ditimbulkannya, maka para birokrat kita juga akan meraih kekayaan lewat usahanya dengan tanpa melihat akibat yang ditimbulkannya. Apa bedanya kalau begitu.

Logika Para Ahli Ekonomi
Dalam pikiran para ahli ekonomi (ekonom), maksimum laba adalah ukuran dari kinerja. Makin tinggi laba yang didapat maka artinya semakin baik pula kinerja. Bayangkan kalau logika ini masuk ke lingkungan birokrat. Logika laba ini telah menjadi bagian dari logika yang dianggap wajar dan benar adanya. Lantas, apa salahnya kalau birokrat yang menurut ekonom juga sebagai homo economicus, memiliki dan menerapkan logika laba ini untuk dirinya. Selain itu, mereka juga setiap saat dipertontonkan dengan tontonan-tontonan yang terinspirasi dari logika laba. Bagaimana bentuk percakapan antara para birokat sebagai “ Kepala Keluarga ” dengan anak dan istrinya tentang masalah mahalnya biaya hidup. Apa bedanya dengan bentuk percakapan antara manajer dan karyawan tentang mahalnya biaya produksi dimana kedua pihak tersebut (kepala keluarga dan manajer) itu merupakan pihak-pihak yang selalu dan akan terus begitu untuk mencari solusi atas tingginya biaya. Inilah gambaran birokrat kita yang selalu menjadi sasaran kesalahan setiap ada masalah konspirasi negatif. Apa bisa kesalahan itu dilimpahkan kepada birokrat dengan tanpa mau melihat penyebabnya sebagaimana yang telah diperingati oleh Adam Smith di atas.
Coba kita lihat ke belakang, bagaimana pola berfikir para pelaku bisnis pada saat mereka memasuki areal politik yang berakhir pada perolehan status menjadi Gubernur, Bupati/Walikota atau menjabat jabatan-jabatan publik yang strategis lainnya. Apakah mereka tidak menebar benih-benih pemikiran ala ekonom di kalangan birokrat. Lantas masih bisakah para birokrat itu berpikir secara profesional sebagai pelayan rakyat, sementara rakyat yang dilayaninya adalah manusia-manusia yang bertipe Homo Economicus (manusia yang mementingkan diri sendiri), dan para birokrat tadi dipertontonkan dengan sebuah gaya berpikir dan perilaku dari para pelaku bisnis yang telah menjabat sebagai atasannya. Walau ironis tapi nyata adanya. Namun tetap saja masih dianggap benar, dianggap tidak menjadi masalah oleh semua kita. Lebih jauh, kenyataan ini tidak pernah mengusik para ahli ekonomi yang telah memberi kontribusi besar atas perubahan logika manusia yang menjadikan manusia mengejar laba secara maksimal.


Kesimpulan
Logika mencari laba bukan hal yang keliru tapi dia menjadi keliru pada saat cara, tempat, waktu, dan motifnya adalah keliru. Artinya, laba yang diharapkan bukanlah diraih melalui serampangan, tetapi laba diraih melalui motif, cara, tempat, dan waktu yang benar. Tidaklah cukup hanya tempat, waktu, dan cara saja yang benar tetapi motif juga perlu benar pula. Para birokrat, ingin melakukan tambahan penghasilan dengan motif yang benar seperti untuk menanggulangi melonjaknya harga-harga komoditi harian dan meningkatnya biaya sekolah putra-putri mereka, tetapi dengan cara yang salah walaupun tempat dan waktu yang benar pula, akan tetap dianggap sebagai sebuah kecurangan. Lantas, bagaimana pula para pelaku bisnis yang menjalankan usahanya dengan cara yang benar, tempat dan waktu yang benar, tapi motif yang salah yaitu hanya mencari laba dengan tanpa melihat akibatnya, dapat dianggap sesuatu yang tidak curang. Di sinilah letak ketimpangan logika yang diterima oleh para birokrat dan pelaku bisnis. Bagaimana pula dengan para ahli ekonomi yang telah menginpirasikan logika seperti ini tidak dapat dianggap sebagai pihak yang melakukan kecurangan? Padahal melalui merekalah logika untung rugi masuk di pikiran para generasi saat ini. Masih perlu ditinjau kembalikah logika para ekonom ini? Jawabnya ada pada diri ekonom itu sendiri.
DIRGAHAYU KOPERASI, SEMOGA LEKAS BESAR

Salah satu kekuatan perekonomian Indonesia adalah Koperasi. Koperasi menjadi kekuatan ekonomi bukan saja berlandaskan pada aspek ekonomi semata, tetapi lebih dikarenakan aspek sosial budaya Bangsa Indonesia. Coba kita lihat azas yang melekat pada diri koperasi, kalau bukan azas-azas sosial. Apalagi jika kita merujuk pada makna koperasi. Oleh Bangsa Indonesia, koperasi merupakan suatu lembaga tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki cita-cita dan kondisi ekonomi yang sama untuk melakukan berbagai pekerjaan/usaha secara bersama-sama pula. Sehingga, koperasi bukanlah kumpulan modal sebagaimana lembaga-lembaga bisnis lainnya. Selain itu, Koperasi juga bukan merupakan lembaga pencari laba, tetapi lembaga yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan setiap anggotanya, walaupun Sisa Hasil Usaha (SHU) dapat dimenifestasikan sebagai laba. Dengan demikian, SHU bukanlah tujuan utama didirikannya koperasi.

Koperasi Indonesia: Dari Masa ke Masa
Pemilihan Capres dan Wapres baru saja berlangsung. Hampir semua pasangan Capres dan Wapres, dalam kontek ekonomi, secara eksplisit mempunyai perhatian untuk memajukan koperasi. Hal ini, memberi sinyal akan dibangkitkannya kembali koperasi sebagai lembaga usaha yang selama ini tidak memiliki eksistensi yang prima dalam mengemban misinya sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan menjadi pilar dari bangunan ekonomi bangsa ini. Namun, sebelum kita melihat realisasi dari apa yang diprogramkan oleh Capres dan Cawapres tadi, maka ada baiknya jika kita menyegarkan kembali ingatan kita tentang hal-hal yang terkait koperasi.
Menurut Bapak Koperasi Indonesia (M. Hatta), koperasi merupakan lembaga atau persekutuan kaum lemah untuk membela keperluan hidupnya dengan mendahulukan keperluan bersama bukan mendahulukan keuntungan. Pengertian ini mencerminkan bahwa koperasi didirikan oleh mereka-mereka yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas yang bertujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan anggota-anggotanya. Jadi, bukan memperjuangkan tujuan-tujuan lain. Jika demikian adanya, lalu, mengapa berkoperasi adalah sesuatu yang penting? Untuk menjawab pertanyaan ini dimensi sejarah, politik, dan ekonomi dapat dijadikan pijakan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas.
Berdasar dimensi sejarah, lahirnya suatu lembaga koperasi lebih dikarenakan adanya suatu kondisi ekonomi yang secara umum menggambarkan bentuk-bentuk keprihatinan. Keprihatinan demi keprihatinan itu, muncul disebabkan antara lain oleh keterabaiannya kaum petani/buruh, distribusi pendapatan sangat tidak merata, dan adanya kedekatan hubungan antara pihak pemilik modal dengan pusat-pusat perancang, perumus dan pengambil kebijakan ekonomi. Gambaran kondisi ini, adalah suatu gambaran ekonomi yang terjadi pada masa dimana pihak markentalis memegang kendali ekonomi di Daratan Eropa – Daratan Eropa, tepatnya Inggris, adalah tampat berdirinya koperasi yang pertama – menjadi hingga munculnya revolusi industri. Bagaimana dengan kita di Indonesia. Di Indonesia, kemunculan koperasi hampir sama penyebabnya dengan kemunculan koperasi-koperasi yang ada di Daratan Eropa pada masa itu. Lihat saja ucapan Bapak Koperasi kita, yang menyatakan “ Koperasi itu adalah lembaga atau persekutuan kaum lemah untuk membela keperluan hidupnya ”. Pandangan ini, jika diperhatikan lebih jauh, tampak adanya suatu pemikiran yang didukung oleh apa yang dialami, oleh apa yang dilihat, oleh apa yang didengar, dan oleh apa yang dipahami, bahwa masyarakat pada masa penjajahan kolonial Belanda dan Jepang, benar-benar tidak memiliki eksistensi pada bidang ekonomi sebagaimana layaknya manusia. Mereka diberlakukan sama seperti mereka-mereka yang hidup di Daratan Eropa pada masa kaum markentalis memegang kendali ekonomi. Dari kenyataan yang ada ini, maka Bangsa Indonesia melalui Bung Hatta membentuk suatu lembaga yang disebut koperasi dengan tujuan seperti yang dinyatakan di atas.
Tinjauan dari dimensi politik, koperasi, sebagai wadah/tempat orang-orang yang memiliki kondisi ekonomi yang sama untuk bekerja bersama-sama, dapat menciptakan suatu kekuatan ekonomi yang harus diperhitungkan. Orang bijak pernah berkata “ bersatu kita teguh bercerai kita runtuh ”. Dengan bersatunya para petani, para nelayan, pedagang kecil/mikro, dan kaum pengrajin – yang menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia –, akan memiliki kekuatan yang dapat disandingkan dengan bentuk-bentuk lembaga usaha/ bisnis lain selain Koperasi. Kekuatan tersebut akan jelas terasa manakala koperasi itu memiliki daya tawar menawar yang kuat dengan lembaga usaha lainnya. Lembaga-lembaga usaha/bisnis non koprasi, tidak lagi dapat memiliki suatu sikap yang tidak memperhitungkan koperasi. Lihat bagaimana para petani di Jepang. Mereka berkumpul/ bersatu dalam wadah koperasi yang menjadikan kehidupan para anggotanya tidak berbeda secara signifikan dengan kaum industrialis. Jadi, jika koperasi itu kuat, maka secara otomatis, koperasi juga ikut diperhitungkan – inilah gambaran dari aspek politis koperasi – dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi baik kebijakan mikro maupun makro.
Sedang pada dimensi ekonomi, seseorang yang telah bergabung dan potensial untuk bergabung dalam lembaga koperasi, akan berfikir dan mempertimbangkan kemanfaatan ekonomis yang akan diperolehnya jika ia menjadi anggota koperasi. Secara garis besar, alasan-alasan ekonomis yang menjadikan seseorang menjadi anggota koperasi atau membentuk lembaga koperasi, antara lain adalah: 1) untuk menekan ongkos/biaya usaha, 2) meningkatkan kesejahteraan, dan 3) membuka peluang usaha.

Keberadaan Koperasi yang Delematis
Belakangan ini, koperasi diangkat kembali eksistensinya sebagai salah satu kekuatan ekonomi Bangsa Indonesia. Banyak pemikiran dari para ahli, tanpa ragu telah membangunkan kembali Koperasi dari tidur panjangnya. Tetapi, sangat-sangat disayangkan, pada saat yang bersamaan, Induk Koperasi yang menjadi pimpinan Koperasi di negeri ini, telah mencoreng dan menenggelamkan dirinya sendiri ke hal-hal yang sangat merugikan Koperasi. Kondisi ini menjadi kontra produktif bagi diri Koperasi.
Sebagai wadah/lembaga usaha, koperasi sebenarnya memiliki peluang yang sama dengan lembaga-lembaga usaha lainnya. Bahkan peluang itu lebih besar dibanding dengan apa yang difikir oleh para ekonom kita. Perkecilan posisi koperasi ini, karena adanya suatu persepsi yang menurut pemikiran penulis adalah persepsi yang kurang tepat. Posisi koperasi saat ini disamakan dengan UKM. Padahal antara koperasi dan UKM memiliki sifat, kekuatan, dan peluang yang berbeda. Penulis yakin, sifat, kekuatan, dan peluang koperasi, lebih besar dibanding UKM. Banyak bukti yang dapat mendukung keyakinan ini. Kemunculan Koperasi yang beroperasi secara luas, dapat kita pelajari lewat struktur organisasi koperasi sejak dari level Desa/Kota, Propinsi, hingga Nasional. Sedang struktur organisasi UKM, tidaklah seluas dan sebesar Koperasi. Jadi akan lebih tepat jika koperasi diposisikan sebagai suatu wadah yang tidak dapat dipersepsikan sama dengan UKM walaupun antara Koperasi dan UKM sama-sama dibangun untuk kepentingan rakyat secara umum. Bahkan jika antara Koperasi dan UKM disandingkan secara benar dan tepat, akan mampu untuk menjadi suatu kekuatan ekonomi yang dapat diandalkan membangun ekonomi bangsa. Tetapi, membangunkan koperasi, kiranya hanya masih sebatas wacana dan pemikiran saja. Tidak tahu apa penyebabnya, mengapa koperasi seakan-akan ditinggalkan dalam pembagian kue besar pinjaman dari pemerintah yang secara total berjumlah 3,1 trilyun, wlaupun hingga saat ini, penyalurannya ke UKM baru berkisar 20% atau baru berkisar Rp 700 milyar. Apakah para praktisi dan pakar Koperasi telah jenuh untuk memikirkan Koperasi, atau apakah karena koperasi kerap kali gagal menjaga dan menjalankan amanah dari terbentuknya koperasi, sehingga pemerintah, para pelaku ekonomi, dan ekonom melupakan koperasi. Banyak bukti yang mendukung premis ini dan bukti yang terkini adalah dibicarakannya kembali kegagalan koperasi untuk pelunasan kredit yang pernah disalurkan ke Koperasi Unit Desa (KUD) berupa Kredit Usaha Tani (KUT). Gagalnya pihak KUD mengembalikan pinjaman tersebut akan berdampak secara potensial pada APBN. Dampak ini akan terjadi jika tunggakan KUD, jadi untuk dihapusbukukan dari pembukuan pihak bank penyalur. Sebab bagian yang tertunggak itu menjadi tanggungan pemerintah kepada BI sebesar 52,25% dari 5,7 trilyun (± Rp 3 trilyun) sedang 42,2% atau ± Rp 2,40 trilyun menjadi beban BI dan sisanya, 5,55% atau ± Rp 0,3 trilyun menjadi tanggungan Perum Usaha Sarana (Kompas, 21 Mei 2004). Selain kegagalan itu, kegagalan koperasi lainnya yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah adanya pengurus koperasi yang bertindak merugikan koperasi dan anggotanya para petani tebu. Sebab, tindakan memasukkan gula dari luar negeri dalam jumlah relatif besar, akan merusak harga gula pasaran yang pada gilirannya akan berdampak negatif bagi petani tebu. Namun, apapun jawabannya, yang jelas, saat ini UKM tampaknya lebih dijadikan fokus dibanding koperasi. Penyandang dana asing (ADB, Asean Development Bank) yang selama ini menjadi salah satu sumber pinjaman negara, akan mempersiapkan kredit untuk pemberdayaan UKM. Mengapa bukan koperasi! Hal ini adalah bukti dari keberpihakan kepada UKM. Walaupun koperasi bukan kumpulan modal, tetapi akan jauh lebih baik jika koperasi memiliki cukup dana untuk pengembangan usahanya yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan para anggotanya – bukan kesejahteraan pengurus – sebagaimana yang disinyalir bahwa koperasi hanya memperkaya pengurus (Kompas, 1 Juli 2004).
Inilah delematis yang ada pada diri koperasi. Mungkinkah koperasi dibangun kembali sehingga dapat berjalan dan besar sesuai jalurnya. Masih tanda tanya. Atau, apakah membiarkan koperasi seperti kondisinya saat ini – hidup segan mati tak mau – adalah suatu langkah/sikap yang kita pilih. Jika ya, mengapa tidak kita hapus saja koperasi dari agenda ekonomi kita. Sebab, selain telah banyak yang kita korbankan untuk kepentingan koperasi baik fikiran, tenaga, dan dana, juga hingga saat ini koperasi relatif kurang memberi kontribusi untuk membangun ekonomi bangsa ini. Tapi, jika langkah ini yang kita ambil, mungkinkah? Delematis ini yang perlu dijawab. Keberadaan koperasi, apakah perlu dilanjutkan atau tidak. Tetapi, apapun jawaban dari kita, setiap pilihan memiliki konsekuensi dan konsekuensi itu tidak dapat kita hindari dan harus dihadapi.

Hadiah Ultah untuk Koperasi
Sama seperti hari ulang tahun lainnya, hari ulang tahun menjadi hari bersejarah bagi yang merayakannya, begitu pula bagi koperasi. Hari ulang tahun koperasi pada tahun ini, sangat baik untuk dijadikan momen penting dari kebangkitan koperasi jika kita memilih untuk meneruskan eksistensi koperasi. Sebab, 1) bangsa ini akan dipimpin oleh pasangan-pasangan yang secara umum punya komit untuk membangkitkan kembali gairah perekonomian melalui pemberdayaan ekonomi berbasis kekuatan rakyat dan 2) saat ini, tidak ada aspek kehidupan berbangsa yang tidak menggunakan kata “reformasi”, begitu pula dengan koperasi yang perlu direformasi dengan tanpa menghilangkan substansi koperasi itu sendiri.
Berdasar kajian di atas, hadiah yang pantas diberikan kepada koperasi adalah sebagai berikut:
1. Posisikan kembali filosofi koperasi secara benar dalam kehidupan berekonomi bagi anggotanya dan bagi calon anggotanya, yaitu antara lain:
a) Koperasi merupakan bentuk/lembaga usaha ekonomi untuk mensejahterakan para anggotanya.
b) Koperasi sebagai lembaga usaha ekonomi, status keanggotaannya harus berdasar perorangan bukan berdasar modal yang disetor, sehingga partisipasi anggota menjadi sangat penting untuk dibangun.
c) Koperasi menjadi alat untuk mengefisienkan pelaksanaan usaha para anggota-anggotanya.
d) Semua yang bekerja di koperasi adalah anggota dan masing-masing anggota memiliki hak suara yang sama, sehingga akan tercipta hubungan yang harmonis atau kesamaan tujuan (goal congruence) antara atasan (pengurus) dan bawahan (anggota biasa), sebab masalah goal congruence ini sangat berpengaruh terhadap kinerja para anggota koperasi.
2. Lakukan rencana-rencana strategi dengan menggunakan berbagai perangkat/ model alat strategi seperti analisis SWOT. Lewat analisis ini, koperasi akan dapat menjawab, apa yang menjadi keistimewaannya/keunggulannya, apa yang menjadi kelemahan koperasi, apa yang menjadi peluang bagi koperasi, dan apa yang menjadi ancaman/hambatan bagi koperasi. Hal yang perlu diingat adalah bahwa analisis ini harus bermuara pada kepentingan dan kesejahteraan anggota.
3. Jadikan semangat ” kerjasama ” sebagai motivator untuk menumbuh kembangkan koperasi lewat pengelolaan (manajemen) koperasi berbasis kerjasama (partisipatif) dan penataan administrasi yang mampu memberi gambaran yang jelas kepada setiap anggotanya baik penataan administrasi keuangan maupun non-keuangan.
4. Ciptakan jaringan-jaringan komunikasi sesama koperasi baik yang sejenis maupun tidak dan lakukan pembicaraan-pembicaraan penting di antara pengurus 1 koperasi dengan pengurus koperasi lainnya untuk mewujudkan sesuatu yang sinerjik dan bermakna bagi masing-masing koperasi seperti menciptakan acuan-acuan kerja, standar-standar operasi, dan lain-lain yang dianggap penting.
5. Perluas jaringan sejauh mungkin dengan tetap fokus pada kepentingan anggota.

Penutup
Adanya suatu kenyataan bahwa sejak pertama kalinya koperasi diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmaja (1895) hingga saat ini, koperasi masih berada pada posisi yang lemah dan jauh tertinggal peranannya dibanding lembaga-lembaga usaha lainnya. Walaupun untuk menumbuh kembangkan koperasi hingga koperasi memiliki peran lewat kekuatan dan ketangguhan, adalah pekerjaan yang kompleks, tapi bukan merupakan hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Untuk itu, tugas ini bukanlah hanya ada di pundak para pengurus tetapi juga ada di pundak pihak-pihak yang terkait seperti pemerintah. Bagaimana pemerintah menciptakan suatu kondisi yang membuat koperasi dapat berkembang dengan tanpa mengorbankan lembaga-lembaga ekonomi/bisnis lainnya di luar koperasi. Dengan kata lain, kreasi pemerintah baik pusat maupun daerah, untuk menjadikan usaha berbentuk swasta, BUMN, dan Koperasi, sebagai 3 pilar yang disandingkan sesuai posisinya masing-masing untuk membangun ekonomi bangsa ini adalah hal yang sangat urgen adanya.
DAMPAK DARI LOGIKA EKONOMI

Terlalu lama sudah “ kebenaran ” akan teori ekonomi neo-klasik yang diajarkan di berbagai perguruan-perguruan tinggi di seluruh Indonesia khususnya Propinsi Sumatera Utara, tanpa ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih perlu diperdebatkan. Kebenaran teori tersebut, tidak hanya terbatas untuk kalangan akademis saja, tapi “ kebenaran “ telah merambah hingga ke rumah-rumah tangga. Tidak jarang kita dengar dan kita lihat, seorang ibu atau bapak, sebelum mengeluarkan sumber daya yang dimilikinya melakukan evaluasi tentang kos dan benefit/manfaat terlebih dahulu atas pengeluaran tersebut. Begitulah kondisi yang dapat kita lihat sebagai suatu dampak dari di terapkannya teori-teori ekonomi yang diajarkan sejak tingkat SLTA hingga pada level pasca sarjana. Benarkah bahwa teori-teori ekonomi tersebut dibangun atas dasar serangkaian asumsi-asumsi yang memiliki level validitas tinggi? Jika benar bahwa validitas asumsi-asumsi tersebut berada pada level yang tinggi, mengapa teori-teori tersebut tidak dapat memecahkan berbagai permasalah ekonomi yang dihadapi bangsa saat ini? Mengapa praktek-praktek ekonomi yang ada melahirkan suatu kecenderungan untuk bersikap serakah (selfish/mementingkan diri sendiri) bagi pelaku-pelakunya? Benarkah setiap manusia selalu bersikap rasional dalam setiap tindak tanduk yang diambil terkait dengan aspek-aspek ekonomi? Bagaimana pula manusia dapat melihat dengan tepat atas pemaksimalan kepuasan yang diraihnya dengan mengeluarkan sejumlah pengorbanan/sumber eknomi yang dimiliki? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya layak untuk diajukan. Namun, contoh-contoh pertanyaan di atas, dapat kiranya dijadikan acuan dalam melakukan peninjauan ulang atau setidaknya merangsang kita sebagai ekonom untuk mempertanyakan validitas asumsi-asumsi yang dipakai untuk membangun teori-teori ekonomi saat ini ( neo-klasik ). Begitu mahalkah harga suatu asumsi untuk ditinjau ulang dan bahkan untuk dirubah?

Menyoal asumsi-asumsi teori ekonomi
Buku-buku teks yang diajarkan kepada para mahasiswa fakultas ekonomi, bukanlah suatu rahasia jika dikatakan berbasis pada pendekatan-pendekatan neo klasik. Asumsi bahwa manusia adalah homo economicus, selalu bersikap rasional, secara konssisten terus menerus berusaha mencapai kepuasan maksimal (maximum utility) serta asumsi-asumsi lain seperti adanya kebutuhan yang tidak terbatas dan terbatasnya alat pemenuh kebutuhan, merupakan contoh-contoh asumsi yang perlu untuk dikaji ulang.
Selaku homo economicus, manusia selalu berfikir dan bersikap berdasar pada nilai-nilai ekonomi. Untuk itu, manusia dianggap selalu rasional. Tapi, apakah manusia benar-benar dapat berposisi sebagai homo economicus dan selalu bersikap rasional? Jika kita menjawab berdasar pada ajaran-ajaran/pemikiran-pemikiran yang diajarkan kepada kita selaku insan akademika ekonomi, maka secara mantap dan meyakinkan, kita akan menjawab “ ya ”. Kalau jawaban ini dipertahankan karena “dianggap” benar, maka kecelakaan besar sedang menanti kita di depan. Mengapa? Sebab, selain bertolak belakang dengan sikap sehari-hari manusia ( yang tidak selalu rasional dalam bertindak ekonomi ), juga tidak sesuai dengan pandangan dasar diri manusia yaitu selaku homo religius, homo socius dan homo-homo lainnya yang non economicus.
Tidak dapat disangkal jika dikatakan bahwa, asumsi-asumsi ekonomi neo klasik itu mewujudkan manusia-manusia yang selalu mementingkan dirinya sendiri ( selfish ), manusia-manusia yang berbasis pada untung rugi untuk setiap tindakan dengan tanpa melihat di sekitar demi pencapaian utility yang maksimal untuk dirinya. Kalau masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat SUMUT khususnya memiliki pandangan yang demikian, maka persaingan sesama mereka hampir-hampir mustahil untuk dikendalikan. Begitu melangkahkan kaki dari depan pintu rumah di pagi hari, peralatan perang telah disiapkan di malam hari sebelumnya. Siap berperang adalah kata kunci yang dijadikan acuan bagi setiap kita. Sebagai konsekuensi logis berikutnya adalah memunculkan fenomena-fenomena kanibalisme dengan dalih ekonomi.
Akan lain kondisinya jika asumsi homo economicus dan rasionalitas diganti dengan homo religius dan homo socius yang secara terus menerus memperhatikan lingkungannya, baik manusia maupun keseimbangan alam sekitarnya serta selalu mengambil tindakan-tindakan ekonomi yang memiliki kecenderungan secara non rasional ( psychological approach ). Asumsi ini, bagi Bangsa Indonesia tampaknya lebih riil dibanding asumsi neo-klasik seperti yang dijelaskan di atas. Kita masih selalu dan akan terus demikian untuk cenderung bersikap pada non rasional, bahkan kecenderungan ini juga terjadi di kalangan mereka-mereka yang mengajarkan rasionalitas dalam berekonomi. Buktinya, kita masih secara rela melakukan berbagai kegiatan yang bersifat menyumbang. Dimana letak keuntungannya jika melakukan kegiatan tersebut? Apakah mengkomsumsi secara berlebihan atas suatu kebutuhan ( melebihi kebutuhan ) seperti membeli kendaraan, masih dapat dianggap bersikap rasional? Bukankah mengkonsumsi di luar kebutuhan seperti itu lebih didasarkan pada sikap emosional dibanding rasional ( lebih cenderung pada aspek-aspek psikologi )? Pertanyaan selanjutnya, bukankah keputusan tersebut ( mengkonsumsi melebihi kebutuhan ) melahirkan pola alokasi sumberdaya yang inefficient? Bukankah efisiensi merupakan salah satu pilar teori ekonomi neo klasik? Jika demikian adanya, masih layakkah asumsi rasionalitas dijadikan pijakan dalam merumuskan teori-teori ekonomi?
Asumsi lainnya yang sangat fundamental dalam perumusan teori ekonomi yang diajarkan di fakultas ekonomi dan jenjang SLTA pada Jurusan Ilmu Sosial ( IPS ), adalah adanya kebutuhan yang tidak terbatas sedang alat pemenuh kebutuhan adalah terbatas. Melalui asumsi ini, maka muncullah ilmu ekonomi. Bagaimana caranya mencapai kebutuhan secara maksimal dengan alat pemenuh kebutuhan yang terbatas. Jika ditinjau ulang, terdapatnya pemikiran tentang alat pemenuh kebutuhan ( sumberdaya ) yang terbatas, apa tidak lebih dikarenakan sikap selfish-nya diri manusia itu sendiri? Apakah benar kebutuhan manusia itu tidak terbatas? Pandangan ini juga masih sangat berpotensi untuk didiskusikan sesama para ekonom secara serius. Masalahnya, akan lebih tepat jika diasumsikan bahwa manusia itu cenderung untuk bersikap selfish dibanding jika diasumsikan bahwa “ manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas “.
Dapat dicontohkan di sini bahwa manusia yang telah meraih segala macam kebutuhan hidupnya mulai dari kebutuhan yang mendasar ( basic need ) hingga kebutuhan aktualisasi diri ( actualization need ) sebagaimana yang diutarakan oleh Abraham Maslow lewat hierarchy need-nya masih juga memiliki perasaan kurang, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas? Apakah perasaan kurang tersebut tidak lebih dikarenakan selfish-nya manusia? Di sini tampak bahw asumsi “ kebutuhan manusia tidak terbatas “ memiliki kelemahan yang mendasar pula. Jika demikan adanya, apakah masih tepat jika kita sebagai masyarakat akademika yang berkecimpung dengan dunia ekonomi, menganggap asumsi tersebut memiliki tingkat validitas yang tinggi? Selanjutnya, apakah pada tempatnya jika kita selaku ekonom, enggan untuk mengkaji ulang asumsi tersebut? Bukankah kita selaku ekonom dituntut untuk selalu mencari dan terus mencari kelemahan-kelemahan yang terdapat di setiap dan sekaligus mengajukan teori-teori baru dengan tingkat validitas yang lebih tinggi dibanding teori-teori sebelumnya?
Begitu pula dengan asumsi kembaran dari asumsi “ manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas “ yaitu asumsi bahwa “ alat pemenuh kebutuhan yang terbatas atau diistiahkan dengan scarsity “. Seperti dipahami bersama, alat pemenuh kebutuhan sering juga diistilahkan dengan sumberdaya. Kajian yang terkandung di dalam asumsi ini adalah bagaimana manusia melakukan alokasi sumberdaya yang dimilikinya untuk mencapai maximum utility pada dirinya. Lewat asumsi inilah, manusia dirangsang untuk melakukan aktivitas-aktivitas pemilihan ( portfolio ) atas sumberdaya yang dimiliki. Pertanyaannya adalah apakah alat pemenuh kebutuhan/sumberdaya tersebut baik bersifat manusia maupun non manusia benar-benar ( truely ) terbatas? Bukankah sumberdaya tersedia secara proporsional dengan kebutuhan manusia? Jangan-jangan, keyakinan akan benarnya asumsi ini sebagai perwujudan dari rasa khawatir yang berlebihan dari diri kita akan kekurangan sumberdaya yang dapat dinikmati/dimanfaatkan di masa akan datang. Atau, lebih dikarenakan adanya asumsi kebutuhan yang tidak terbatas tadi. Sebab, sebagai akibat dari tidak terbatasnya kebutuhan maka disadari atau tidak, manusia satu akan secara terus menerus mencari kelebihan-kelebihan sumberdaya dibanding manusia lainnya.

Penutup Banyaknya problematik atas diri asumsi-asumsi yang menjadi fondasi perumusan teori-teori ekenomi saat ini, menjadi pemicu kekeliruan dalam menetapkan berbagai kebijakan ekonomi baik pada level mikro maupun makro. Keengganan dan kebelum-tahuan kita para ekonom untuk mempertanyakan validitas asumsi-asumsi dalam teori ekonomi, menjadikan teori ekonomi yang diajarkan saat ini kepada para mahasiswa adalah sesuatu yang benar-benar “ dianggap “ valid untuk dijadikan acuan atau ukuran berfikir dan bertindak ekonomi. Namun, itu semua tidak terlepas dari pertimbangan kita selaku ekonom untuk mau dan mampu menentukan pilihan serta melihat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Seberapa mahalkah jika kita mempermasalahkan asumsi-asumsi yang menjadi pijakan dalam perumusan teori-teori ekonomi, (2) Seberapa mahalkah yang harus kita korbankan jika kita mempertanyakan asumsi-asumsi tersebut, dan (3) Manakah yang lebih mahal antara antara membiarkan asumsi tersebut berjalan sebagaimana biasanya dan mempertanyakan asumsi tersebut?

Saturday, November 29, 2008

DAMPAK LOGIKA EKONOMI

Terlalu lama sudah “ kebenaran ” akan teori ekonomi neo-klasik yang diajarkan di berbagai perguruan-perguruan tinggi di seluruh Indonesia khususnya Propinsi Sumatera Utara, tanpa ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih perlu diperdebatkan. Kebenaran teori tersebut, tidak hanya terbatas untuk kalangan akademis saja, tapi “ kebenaran “ telah merambah hingga ke rumah-rumah tangga. Tidak jarang kita dengar dan kita lihat, seorang ibu atau bapak, sebelum mengeluarkan sumber daya yang dimilikinya melakukan evaluasi tentang kos dan benefit/manfaat terlebih dahulu atas pengeluaran tersebut. Begitulah kondisi yang dapat kita lihat sebagai suatu dampak dari di terapkannya teori-teori ekonomi yang diajarkan sejak tingkat SLTA hingga pada level pasca sarjana. Benarkah bahwa teori-teori ekonomi tersebut dibangun atas dasar serangkaian asumsi-asumsi yang memiliki level validitas tinggi? Jika benar bahwa validitas asumsi-asumsi tersebut berada pada level yang tinggi, mengapa teori-teori tersebut tidak dapat memecahkan berbagai permasalah ekonomi yang dihadapi bangsa saat ini? Mengapa praktek-praktek ekonomi yang ada melahirkan suatu kecenderungan untuk bersikap serakah (selfish/mementingkan diri sendiri) bagi pelaku-pelakunya? Benarkah setiap manusia selalu bersikap rasional dalam setiap tindak tanduk yang diambil terkait dengan aspek-aspek ekonomi? Bagaimana pula manusia dapat melihat dengan tepat atas pemaksimalan kepuasan yang diraihnya dengan mengeluarkan sejumlah pengorbanan/sumber eknomi yang dimiliki? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya layak untuk diajukan. Namun, contoh-contoh pertanyaan di atas, dapat kiranya dijadikan acuan dalam melakukan peninjauan ulang atau setidaknya merangsang kita sebagai ekonom untuk mempertanyakan validitas asumsi-asumsi yang dipakai untuk membangun teori-teori ekonomi saat ini ( neo-klasik ). Begitu mahalkah harga suatu asumsi untuk ditinjau ulang dan bahkan untuk dirubah?

Menyoal asumsi-asumsi teori ekonomi
Buku-buku teks yang diajarkan kepada para mahasiswa fakultas ekonomi, bukanlah suatu rahasia jika dikatakan berbasis pada pendekatan-pendekatan neo klasik. Asumsi bahwa manusia adalah homo economicus, selalu bersikap rasional, secara konssisten terus menerus berusaha mencapai kepuasan maksimal (maximum utility) serta asumsi-asumsi lain seperti adanya kebutuhan yang tidak terbatas dan terbatasnya alat pemenuh kebutuhan, merupakan contoh-contoh asumsi yang perlu untuk dikaji ulang.
Selaku homo economicus, manusia selalu berfikir dan bersikap berdasar pada nilai-nilai ekonomi. Untuk itu, manusia dianggap selalu rasional. Tapi, apakah manusia benar-benar dapat berposisi sebagai homo economicus dan selalu bersikap rasional? Jika kita menjawab berdasar pada ajaran-ajaran/pemikiran-pemikiran yang diajarkan kepada kita selaku insan akademika ekonomi, maka secara mantap dan meyakinkan, kita akan menjawab “ ya ”. Kalau jawaban ini dipertahankan karena “dianggap” benar, maka kecelakaan besar sedang menanti kita di depan. Mengapa? Sebab, selain bertolak belakang dengan sikap sehari-hari manusia ( yang tidak selalu rasional dalam bertindak ekonomi ), juga tidak sesuai dengan pandangan dasar diri manusia yaitu selaku homo religius, homo socius dan homo-homo lainnya yang non economicus.
Tidak dapat disangkal jika dikatakan bahwa, asumsi-asumsi ekonomi neo klasik itu mewujudkan manusia-manusia yang selalu mementingkan dirinya sendiri ( selfish ), manusia-manusia yang berbasis pada untung rugi untuk setiap tindakan dengan tanpa melihat di sekitar demi pencapaian utility yang maksimal untuk dirinya. Kalau masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat SUMUT khususnya memiliki pandangan yang demikian, maka persaingan sesama mereka hampir-hampir mustahil untuk dikendalikan. Begitu melangkahkan kaki dari depan pintu rumah di pagi hari, peralatan perang telah disiapkan di malam hari sebelumnya. Siap berperang adalah kata kunci yang dijadikan acuan bagi setiap kita. Sebagai konsekuensi logis berikutnya adalah memunculkan fenomena-fenomena kanibalisme dengan dalih ekonomi.
Akan lain kondisinya jika asumsi homo economicus dan rasionalitas diganti dengan homo religius dan homo socius yang secara terus menerus memperhatikan lingkungannya, baik manusia maupun keseimbangan alam sekitarnya serta selalu mengambil tindakan-tindakan ekonomi yang memiliki kecenderungan secara non rasional ( psychological approach ). Asumsi ini, bagi Bangsa Indonesia tampaknya lebih riil dibanding asumsi neo-klasik seperti yang dijelaskan di atas. Kita masih selalu dan akan terus demikian untuk cenderung bersikap pada non rasional, bahkan kecenderungan ini juga terjadi di kalangan mereka-mereka yang mengajarkan rasionalitas dalam berekonomi. Buktinya, kita masih secara rela melakukan berbagai kegiatan yang bersifat menyumbang. Dimana letak keuntungannya jika melakukan kegiatan tersebut? Apakah mengkomsumsi secara berlebihan atas suatu kebutuhan ( melebihi kebutuhan ) seperti membeli kendaraan, masih dapat dianggap bersikap rasional? Bukankah mengkonsumsi di luar kebutuhan seperti itu lebih didasarkan pada sikap emosional dibanding rasional ( lebih cenderung pada aspek-aspek psikologi )? Pertanyaan selanjutnya, bukankah keputusan tersebut ( mengkonsumsi melebihi kebutuhan ) melahirkan pola alokasi sumberdaya yang inefficient? Bukankah efisiensi merupakan salah satu pilar teori ekonomi neo klasik? Jika demikian adanya, masih layakkah asumsi rasionalitas dijadikan pijakan dalam merumuskan teori-teori ekonomi?
Asumsi lainnya yang sangat fundamental dalam perumusan teori ekonomi yang diajarkan di fakultas ekonomi dan jenjang SLTA pada Jurusan Ilmu Sosial ( IPS ), adalah adanya kebutuhan yang tidak terbatas sedang alat pemenuh kebutuhan adalah terbatas. Melalui asumsi ini, maka muncullah ilmu ekonomi. Bagaimana caranya mencapai kebutuhan secara maksimal dengan alat pemenuh kebutuhan yang terbatas. Jika ditinjau ulang, terdapatnya pemikiran tentang alat pemenuh kebutuhan ( sumberdaya ) yang terbatas, apa tidak lebih dikarenakan sikap selfish-nya diri manusia itu sendiri? Apakah benar kebutuhan manusia itu tidak terbatas? Pandangan ini juga masih sangat berpotensi untuk didiskusikan sesama para ekonom secara serius. Masalahnya, akan lebih tepat jika diasumsikan bahwa manusia itu cenderung untuk bersikap selfish dibanding jika diasumsikan bahwa “ manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas “.
Dapat dicontohkan di sini bahwa manusia yang telah meraih segala macam kebutuhan hidupnya mulai dari kebutuhan yang mendasar ( basic need ) hingga kebutuhan aktualisasi diri ( actualization need ) sebagaimana yang diutarakan oleh Abraham Maslow lewat hierarchy need-nya masih juga memiliki perasaan kurang, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas? Apakah perasaan kurang tersebut tidak lebih dikarenakan selfish-nya manusia? Di sini tampak bahw asumsi “ kebutuhan manusia tidak terbatas “ memiliki kelemahan yang mendasar pula. Jika demikan adanya, apakah masih tepat jika kita sebagai masyarakat akademika yang berkecimpung dengan dunia ekonomi, menganggap asumsi tersebut memiliki tingkat validitas yang tinggi? Selanjutnya, apakah pada tempatnya jika kita selaku ekonom, enggan untuk mengkaji ulang asumsi tersebut? Bukankah kita selaku ekonom dituntut untuk selalu mencari dan terus mencari kelemahan-kelemahan yang terdapat di setiap dan sekaligus mengajukan teori-teori baru dengan tingkat validitas yang lebih tinggi dibanding teori-teori sebelumnya?
Begitu pula dengan asumsi kembaran dari asumsi “ manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas “ yaitu asumsi bahwa “ alat pemenuh kebutuhan yang terbatas atau diistiahkan dengan scarsity “. Seperti dipahami bersama, alat pemenuh kebutuhan sering juga diistilahkan dengan sumberdaya. Kajian yang terkandung di dalam asumsi ini adalah bagaimana manusia melakukan alokasi sumberdaya yang dimilikinya untuk mencapai maximum utility pada dirinya. Lewat asumsi inilah, manusia dirangsang untuk melakukan aktivitas-aktivitas pemilihan ( portfolio ) atas sumberdaya yang dimiliki. Pertanyaannya adalah apakah alat pemenuh kebutuhan/sumberdaya tersebut baik bersifat manusia maupun non manusia benar-benar ( truely ) terbatas? Bukankah sumberdaya tersedia secara proporsional dengan kebutuhan manusia? Jangan-jangan, keyakinan akan benarnya asumsi ini sebagai perwujudan dari rasa khawatir yang berlebihan dari diri kita akan kekurangan sumberdaya yang dapat dinikmati/dimanfaatkan di masa akan datang. Atau, lebih dikarenakan adanya asumsi kebutuhan yang tidak terbatas tadi. Sebab, sebagai akibat dari tidak terbatasnya kebutuhan maka disadari atau tidak, manusia satu akan secara terus menerus mencari kelebihan-kelebihan sumberdaya dibanding manusia lainnya.

Penutup Banyaknya problematik atas diri asumsi-asumsi yang menjadi fondasi perumusan teori-teori ekenomi saat ini, menjadi pemicu kekeliruan dalam menetapkan berbagai kebijakan ekonomi baik pada level mikro maupun makro. Keengganan dan kebelum-tahuan kita para ekonom untuk mempertanyakan validitas asumsi-asumsi dalam teori ekonomi, menjadikan teori ekonomi yang diajarkan saat ini kepada para mahasiswa adalah sesuatu yang benar-benar “ dianggap “ valid untuk dijadikan acuan atau ukuran berfikir dan bertindak ekonomi. Namun, itu semua tidak terlepas dari pertimbangan kita selaku ekonom untuk mau dan mampu menentukan pilihan serta melihat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Seberapa mahalkah jika kita mempermasalahkan asumsi-asumsi yang menjadi pijakan dalam perumusan teori-teori ekonomi, (2) Seberapa mahalkah yang harus kita korbankan jika kita mempertanyakan asumsi-asumsi tersebut, dan (3) Manakah yang lebih mahal antara antara membiarkan asumsi tersebut berjalan sebagaimana biasanya dan mempertanyakan asumsi tersebut?
SKB dan Manusia “ Buruh “



Tidak selamanya, suatu tujuan yang baik akan selalu berakhir secara baik pula. Pernyataan ini, adalah sangat sesuai dengan keberadaan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 4 Mentri (Menteri Dalam Negeri, Perindustrian, Tenaga Kerja dan Transmigran, dan Meteri Perdagangan). Kemunculan SKB ini ditujukan untuk meminimalisir dan bahkan menghilangkan laju gerak gelombang PHK bagi si buruh. SKB ini juga dijadikan suatu acuan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pngusaha dan pekerja (buruh). Oleh karenanya, wajar jika kemunculan SKB 4 Menteri ini lebih didasarkan pada beberapa pertimbangan terkait krisis global yang saat ini guna mengantisipasi dampak negatif terhadap dunia usaha dan ketenagakerjaan.
Namun, mengapa SKB yang diyakini akan sangat bermaanfaat baik bagi pemerintah, pengusaha, maupun pekerja atau buruh, direspon negatif oleh pihak buruh. Artinya, mengapa para pekerja/buruh merasa tidak nyaman atau terganggu keberadaannya dengan lahirnya SKB ini. Pertanyaan-pertayaan ini mengindikasikan ada yang kurang “ benar “ di SKB tersebut. Untuk itu, melihat dan mengevaluasi SKB adalah bagian penting pula dalam menghentikan arus gelombang PHK.

Ada apa dengan SKB?
Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri itu berangkat dari suatu kebutuhan yang dipersepsikan oleh pemerintah dan pihak lain sebagai sesuatu yang sudah layak untuk diwujudkan. Namun, sampai hari ini, pihak buruh sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dan terkait langsung dengan SKB, selalu berusaha untuk tetap menolak isi SKB tersebut. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, yaitu masalah kepentingan yang tidak terealisir atau merasa terkorbankan atas sebuah keputusan.
Masalah ” kepentingan “ dan merasa “ dikorbankan “ ini adalah alami dan sangat manusiawi. Jika begitu adanya, lantas, masihkah SKB itu dikatakan akomodatif jika mengacu pada konsep tripartit (pemerintah, pengusaha dan pekerja). Sedikit kebelakang, apakah salah satu dari ketiga pihak di dalam tripartit itu tidak mengalami ketakutan dengan melihat pada kondisi bahwa apa yang diharapkannya adalah berbeda dengan apa yang menjadi kenyataannya. Selaku rumah tangga produsen (pihak pengusaha), apakah tidak memiliki rasa khawatir pada saat harga pokok produk yang dihasilkannya adalah tinggi sebagai akibat dari tingginya harga salah satu komponen penting dari produknya. Apakah pihak pemerintah tidak memiliki rasa yang gusar manakala investor asing mengklaim bahwa iklim investasi di Indonesia adalah rawan sehingga tidak menjanjikan jika berinvestasi? Ini bukti bahwa apakah kita berposisi sebagai pemerintah, sebagai pengusaha atau sebagai buruh, kita tidak bisa lepas dari unsur-unsur manusiawi kita. Kalau begitu, apapun yang telah menjadi keputusan yang telah disepakati, semestinya tidak terlepas dari unsur-unsur manusiawi juga. Bukan hnya berangkat dari unsur ekonomi saja. Sebab, yang mengalami kekhawatiran, ketakutan dan lain sebagainya itu adalah sisi-sisi manusiawi, bukan sisi-sisi ekonomi. Lantas, bagaimana pula dengan diterbirkanya SKB 4 Menteri tersebut? Apa dasar pijakan atau pertimbangan yang memicu lahirnya SKB itu. Dapat dipastikan adalah pertimbangan sisi-sisi ekonomi. Kalaupun ada pertimbangan manusiawi, maka pertanyaannya adalah “ manusiawi ”nya siapa? Pemerintah, pengusaha atau buruh? Ini yang perlu dicermati. Amat tidak manusiawi alias ekonomis sekali, jika selama ini para pengusaha dapat menikmati hidupnya melalui bantuan-bantuan para buruh dan saat ini diminta untuk memberi bantuan kepada si buruh, namun menolaknya. Melalui SKB ini, malah pihak pengusaha diberi leluasa untuk merefleksikan apa yang diinginkannya kepada si buruh. Sebab manusia dengan status “ buruh ” diminta untuk meredifinisi ulang besaran upah yang diterimanya dengan manusia berstatus “ pengusaha “. Sangat jelas, akan terjadi tarik menarik kepentingan dan kekhawatiran antara si buruh dan si pengusaha. Jika kenyataan ini yang terjadi, dapat kita pastikan kalau manusia berstatus “ buruh “ pasti tidak memiliki kekuatan daya tawar sekuat daya tawar manusia berstatus “ pengusaha. Apakah posisi tawar menawar ini tidak diketahui oleh pemerintah? Pemerintah pasti mengetahuinya, tetapi tidak dapat berbuat banyak. Ini bukti kalau pijakan lahirnya SKB itu, bukan berdasar pada sisi-sisi manusia tetapi pada sisi-sisi ekonomi semata. Inilah basis ekonomi bangsa kita saat ini.