Monday, December 22, 2008

KESETIAKAWANAN SOSIAL Vs LOGIKA EKONOMI
Oleh:
Muhammad Ishak *


Pendahuluan
Seperti hari-hari nasional lainnya, Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) selalu diperingati oleh masyarakat Indonesia. Beragam tema peringatan yang dirancang di berbagai tempat perayaan, menjadi motor penggerak pelaksanaannya. Berbagai macam rupa bentuk-bentuk tindakan sosial serta berbagai ragam pula pemikiran bermunculan. Ada yang mencoba untuk sekedar mengingatkan bahwa Bangsa ini adalah bangsa yang memiliki jiwa sosial/gotong royong, ada juga yang mencoba untuk mencari basis hubungan antar manusia, dan lebih jauh lagi, ada yang mencoba untuk memberikan suatu pemikiran yang pada akhirnya bermuara pada kesatuan berbangsa. Namun, pernahkan kita berfikir bahwa efektifkah kegiatan perayaan peringatan HKSN tersebut. Pertanyaan ini merupakan satu bentuk masalah yang perlu keseriusan dalam melakukan evaluasi efektifitas pelaksanaan perayaan HKSN itu sendiri. Selain untuk menilai efektivitas kegiatan, juga sekaligus untuk melihat pergesaran sosial yang terjadi di masyarakat.

Manusia dan Ekonomi
Dahulu, Indonesia dikenal dengan lewat budaya sosialnya yang penuh dengan keramah tamahan, bertoleransi yang tinggi, dan berjiwa sosial dan bergotong royong dalam kehidupan sehari hari masyarakatnya. Kenyataan ini memang benar adanya pada masa lalu. Tetapi, sangat sukar sudah kita temui di masa sekarang terlebih lebih di daerah-daerah yang dikelompokan ke daerah metropolitan/kota-kota besar seperti Kota Medan. Pergesaran-pergeseran pada nilai-nilai kehidupan bersosial masyarakat hampir-jempir tidak dapat dibendung lagi. Bahkan, diperparah lagi dengan belum adanya alat yang mampu membendung hal-hal yang menjadi penyebab munculnya pergeseran tersebut seperti logika ekonomi.
Apakah dengan terdapatnya produk-produk di pasar yang telah kadaluarsa, produk-produk yang dipalsukan, dan produk-produk yang mengandung unsur-unsur yang tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia, belum cukup sebagai bukti terjadinya pergeseran pada basis berhubungan antar manusia. Lantas, mengapa secara cepat masyarakat kita menjatuhkan vonis bahwa pedagang/produsen itu salah! Jarang sekali kita dengar bahwa vonis dialamatkan kepada konsumen terhadap produk-produk yang diindikasikan seperti di atas. Padahal dalam sudut pandang ekonomi, ada 3 kelompok besar masyarakat yang menjadi pilar bergeraknya roda suatu perekonomian yaitu masyarakat produsen, konsumen, dan distributor. Ke-3 kelompok masyarakat tersebut masing-masingnya, sama-sama menggunakan logika ekonomi dalam menjalankan kehidupannya sehari hari. Produser memiliki logika ekonomi (memaksimalkan keuntungan), konsumen juga memiliki logika ekonomi (memaksimalkan kepuasan dengan penghasilan/pendapatan yang terbatas), begitu pula dengan distributor yang relatif sama dengan logikanya para produser. Lantas, jika logika ekonomi tersebut diterima dan bahkan dilegalkan untuk diamalkan oleh masyarakat, bagaimana jadinya dengan logika kesetiakawanan? Apakah cukup arif jika kita katakan bahwa antara logika ekonomi dan logika kesetiakawanan yang berbasis pada pola saling membantu/gotong royong, adalah 2 hal yang saling beda dan tidak saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Kalaulah kita sepakat dengan pernyataan ini, maka pertanyaannya adalah hal mana yang lebih dominan dan sering dilakukan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari hari, apakah logika ekonomi atau logika kesetiakawanan? Tanpa perlu usaha yang serius untuk mencari jawabannya, kita dapat memastikan bahwa logika ekonomi adalah yang lebih sering dan dominan dalam kehidupan sehari hari masyarakat. Selanjutnya, jika kita sepakati bahwa logika ekonomi lebi dikedepankan oleh masyarakat dibanding logika kesetiakawanan, masih efektifkah pelaksanaan peringatan/perayaan itu dilakukan? Dengan alasan logis yang manakah bahwa pelaksanaan peringatan HKSN itu dapat memberikan masukan bermakna bagi masyarakat agar kembali pada bentuk-bentuk spirit masa lalu yaitu kesetiakawanan sosial dalam kehidupannya.
Kalu dilihat lebih jauh, tidaklah dapat kita sangkal bahwa bergulirnya logika ekonomi adalah bentuk yang tidak terkalahkan oleh logika manapun. Berfikiran dengan pendekatan untung dan rugi serta biaya dan manfaat telah menjadi landasan masyarakat dalam bersikap, bertindak, dan lebih dalam lagi yaitu berpendapat. Basis berfikir seperti ini, tidak saja ada di lingkungan mereka-mereka yang dekat dengan masalah/kajian ekonomi, tetapi juga telah berada pada lingkungan kajian-kajian yang jauh dengan ekonomi seperti masalah kesetiakawanan sosial. Kita masih berfikir untung atau rugi walaupun kita sedang membicarakan masalah-masalah sosial. Kita juga masih bersandar pada pendekatan-pendekatan ekonomi walaupun dalam topik-topik bahasan yang mencakup pada materi-materi seperti melakukan hubungan baik sesama manusia maupun alam di sekitar. Sebagai contoh misalnya, kita mau malakukan hubungan dengan pihak/orang lain, tetapi tetap saja kita masih berfikir, ” apa manfaat dan keuntungan yang dapat diraih jika berhubungan dengan pihak/orang tersebut dijalankan ”? Oleh para ekonom logika seperti contoh ini adalah logis atau benar adanya sebab mereka diajari bahwa manusia dalam setiap sikap dan tindakannya harus rasional dan manusia diasumsikan sebagai homo economicus, sehingga, tidaklah salah jika kita berfikir demikian. Logika ini tidak saja beredar di kalangan ekonom, tetapi juga di kalangan non ekonom. Inilah bentuk-bentuk logika ekonomi yang bergulir secara lebih cepat dibanding bentuk-bentuk logika lainnya termasuk logika kesetiakawanan yang berbasis pada pola-pola tidak memiliki harap apapun di dalam setiap hubungan yang dilakukannya.

Penutup Bahasan yang singkat tersebut, seyogyanya menjadi bahan pemikiran baik di kalngan para akademisi (ekonom dan ahli lainnya) maupun di kalangan aparatur pemerintah selaku pihak yang memliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi dan non ekonomi lainnya. Para ekonom sudah selayaknya mulai berfikir yang tidak lagi semata-mata bersandar pada logika ekonomi saja tetapi secara bertahap untuk mau dan mampu berfikir dengan pendekatan-pendekatan berbasis pada masyarakat Indonesia yang dibentuk lewat bentukan-bentukan sosial/gotong royong. Begitu pula adanya dengan pihak-pihak non ekonom yang sudah selayaknya secara terus menerus melakukan pencarian atas bentuk-bentuk kesetiakawanan yang secara meyakinkan dapat digunakan sebagai bendungan dari laju logika ekonomi.

No comments: