Friday, October 24, 2008

Fenomena HRD dalam Pengelolaan Aset Daerah


Oleh:
Muhammad Ishak *)

Font size
Abstrak

Paper ini dimotivasi oleh adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan aset yang dimiliki termasuk keuangan daerah. Pengelolaan aset atau keuangan tersebut, tidak cukup hanya dengan mengenal berbagai teknis pengelolaannya saja. Tetapi, lebih jauh, juga perlu dikenali secara bijak dan benar pada aspek-aspek sumberdaya manusia yang menjadi subjek pengelola aset atau keuangan tersebut.
Melalui pendekatan analisis kualitatif, paper ini mendiskripsikan berbagai ragam fenomenalogis yang terkait sumberdaya manusia dan pengelolaan aset atau keuangan di lingkungan pemerintah daerah. Pemaparan hasil analisis yang dilakukan secara naratif, menyimpulkan bahwa pengelolaan aset atau keuangan daerah, tidak mendekatkan diri pada visi/misi organisasi tanpa melkukan pengelolaan terhadap sumberdaya manusia secara benar.



A. Pendahuluan
Bergulirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, membawa pengaruh signifikan terhadap kehidupan pemerintahan di daerah. Sebagai pelengkap dan konsekuensi logis dari Undang-Undang tersebut, maka oleh Pemerintah Pusat diterbitkan lagi serangkaian aturan baik berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri (Permen), dan Keputusan Menteri (Kepmen), dan aturan-aturan lainnya. Berbagai aturan tersebut, diantaranya adalah Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Selain sebagai peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri ini juga merupakan aturan yang mengganti Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Berdasar Permendagri Nomor 13 pasal 295 dan 296 (Mentri Dalam Negeri, 2006:106), dinyatakan bahwa salah satu komponen Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pengguna anggaran dan pengguna barang di lingkungan pemerintah daerah adalah Neraca. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang menyangkut harta/aset, utang, dan kekayaan pemerintah daerah, tercermin di neraca yang dimiliki masing-masing pemerintah daerah. Neraca, dalam perspektif akuntansi dapat dipandang sebagai suatu bentuk media yanng memberi gambaran atas posisi keuangan (harta/aset, utang, dan kekayaan) pada suatu waktu tertentu. Posisi keuangan itu dapat berupa uang tunai, aset, utang, dan kekayaan bersih Pemerintah Daerah.
Namun saat ini, pandangan terhadap neraca tidak cukup lagi dengan hanya seperti yang diungkapkan di atas, tetapi memiliki dimensi lain yang lebih penting untuk dilihat. Pandangan lain tersebut adalah bahwa neraca merupakan suatu kumpulan kebijakan manajemen pemerintah daerah (kepala daerah). Oleh karenanya, neraca dapat juga dipandang sebagai suatu gambaran yang menjelaskan tentang pengelolaan semua fungsi manajemen di semua aspek manajemen termasuk juga aspek sumberdaya manusia. Dengan kata lain, posisi keuangan yang dimiliki pemerintah daerah pada suatu tanggal tertentu juga menjadi cerminan bagaimana cara manajemen pemerintah daerah melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya-sumberdaya terutama sumberdaya manusia yang dimilikinya. Berdasarkan pada tinjauan yang demikian itu, maka posisi sumberdaya manusia menjadi posisi penting di samping kedudukan masalah keuangan.

B. Akuntansi dan Sumberdaya Manusia
Akuntansi, sebagaimana lazimnya dalam dunia usaha, menjadi salah satu alat manajemen untuk menyediakan informasi keuangan. Akuntansi tidak hanya dioptimalkan peranannya di lingkungan bisnis, tetapi juga di lingkungan pemerintah. Hal ini tercermin dari terdapatnya satu (1) Bagian tersendiri pada Permendagri nomor 13 tahun 2006. Bagian tersebut adalah Bagian Keempat yang membicarakan akuntansi sejak pasal 266 hingga pasal 289. Selain itu, dituntutnya setiap penyelenggara pemerintah pada level pemerintah daerah baik di tingkat I maupun di tingkat II, agar dalam penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, juga menyertakan diantaranya adalah Neraca Daerah. Walaupun posisi akuntansi semakin menonjol dalam membantu pemerintah daerah melakukan pengelolaan keuangan secara baik dan transparan, tetapi masih belum diikuti dengan kesiapan sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk mengoperasikan sistem akuntansi tersebut.
Lebih jauh lagi, terdapat pandangan terhadap hubungan antara akuntansi dan sumberdaya manusia yang semestinya saling mempengaruhi – akuntansi dapat mempengaruhi sumberdaya manusia dan sumberdaya manusia dapat mempengaruhi akuntansi (bagian dari materi kajian “akuntansi keperilakuan“) (Ikhsan dan Ishak, 2005:7), tetapi kerapkali aspek sumberdaya manusia, terabaikan. Hubungan tersebut diantaranya dapat dilihat dalam hal pengelolaan harta kekayaan pemerintah daerah sebagaimana yang tertuang di dalam neraca daerah. Sebagai pembuktian sederhana atas hubungan kedua aspek ini, dapat dilihat dari pengeluaran untuk kegiatan pemerilaharaan. Belanja pemeliharaan yang ada selama ini, merupakan bentuk belanja yang dianggap logis untuk peningkatan atau mempertahankan kinerja aset yang dipelihara tersebut. Namun, kajian atas munculnya belanja jenis ini, tidak begitu jauh dibicarakan. Artinya, jarang sekali ada kajian yang serius terhadap penyebab menurunnya kinerja aset yang dipelihara itu. Beberapa alternatif penyebabnya, antara lain terjadi pada:
Saat penyusunan spek aset,
Saat aset diperolehan, dan
Saat aset dioperasionalkan.
Pertanyaan lanjutannya adalah: 1) pada saat yang mana yang menyebabkan kinerja aset tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan dan 2) mengapa pada saat itu, terjadi kesalahan. Kedua jenis pertanyaan ini akan memaksa kita untuk lebih berhati-hati atas pengelolaan aset tersebut.
Terhadap pengelolaan aset ini, permasalahan yang muncul adalah apa, mengapa, dan bagaimana seluruh aset yang dimiliki atau dikuasai dapat disajikan di Neraca Daerah secara wajar tanpa ada yang luput dan keliru yang akhirnya dapat menyesatkan para pengguna Neraca Daerah. Permasalah ini muncul mangingat bahwa kekeliruan yang terdapat di Neraca Daerah akan berdampak negatif pada kebijakan ekonomi yang akan dipilih dan diterapkan. Dengan kata lain, jika informasi yang disajikan di Neraca Daerah adalah menyesatkan – tidak sesuai kondisi yang sebenarnya – maka dapat dipastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil juga akan cenderung untuk keliru atau menjauhkan diri dari arah perwujudan visi dan misi yang ditetapkan. Sehingga, secara implisit tampak bahwa antara akuntansi dan sumberdaya manusia memiliki hubungan positif. Neraca Daerah akan dapat memiliki muatan informasi keuangan yang handal manakala sumberdaya manusia yang dimiliki pemerintah daerah, juga handal.
Beberapa masalah yang kerap kali muncul baik dalam perspektif akuntansi maupun perspektif sumberdaya manusia.dalam pengelolaan aset pemerintah daerah seperti aset yang berbentuk aktiva tetap serta pengelolaannya, dapat dicontohkan sebagai berikut: Pertama, pada aspek akuntansi, antara lain meliputi:
a. Bagaimana cara penetapan nilai nominal aset yang tidak diketahui harga perolehannya,
b. Dengan cara apa pengklasifikasian masing-masing jenis aset tersebut jika mengacu pada Permendagri Nomor 13 tahun 2006 pasal 233 ayat 1 butir c dan Peaturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Berdasar PP ini, aktiva tetap adalah berupa Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan, Irigasi, dan Jaringan, Aset Tetap Lainnya, serta Konstruksi Dalam Penyelesaian,
c. apakah semua aset yang terdapat di Neraca Daerah benar-benar merupakan miliki pemerintah daerah yang dapat dipertanggung jawabkan secara formal,
d. Apakah masih ada aset yag dimiliki pemerintah daerah, tetapi belum disajikan di Neraca Daerah. Perlu untuk dipahami pada kasus ini, semua harta kekayaan yang dimiliki pemerintah daerah, dalam perspektif akuntansi, jika tidak dimasukkan ke dalam Neraca Daerah, dapat dikatakan bukan aset milik pemerintah daerah,
e. Bagaimana cara memperlakukan aset yang masih memiliki nilai ekonomis tetapi tidak dapat dan atau tidak layak untuk dioperasionalkan lagi?
Masalah kedua adalah terkait dengan sumberdaya manusia, yang antara lain meliputi:
a. Apakah pihak yang bertanggung jawab selama ini atas administrasi aset (bendaharawan barang), memiliki pengarsipan bukti kepemilikan aset secara tertib,
b. Bagaimana cara pihak pengelola aset dapat meyakinkan pihak lain bahwa tidak ada lagi aset yang tidak terdaftar/dimasukan ke dalam Neraca Daerah,
c. Dengan cara apa pemerintah daerah melihat ada tidaknya motivasi dan komitmen dari pihak pengelola dan pengguna aset sehingga aset yang dimiliki akan memberi kontribusi yang maksimal dalam pencapaian visi dan misi, aset terjamin dari kerusakan yang belum pada waktunya dan terhindar dari kehilangan. Mengingat masalah ini, Ryan (2001) menyatakan bahwa hubungan antara pekerja (employee) dan pemberi kerja (employer), dapat ditingkatkan tidak hanya sebatas pada level hubungan ekonomi, tetapi lebih lagi yaitu hubungan yang bersifat ke dalam diri masing-masing individu (hubungan secara emosional). Hubungan ini akan tercermin lewat cara-cara para anggota organisasi/instansi menangani masalah yang terkait dengan aset pemerintah daerah. Apakah setiap individu organisasi memandang aset tersebut selain untuk kepentingan organisasi, juga diberlakukan sebagai milik yang memerlukan perhatian dari si pengguna untuk merawat dan menjaganya.
d. Fenomena lainnya adalah masalah kepuasan kerja individu yang terlibat dengan pengelolaan aset. Pada satu sisi, aset pemerintah daerah memiliki variasi bentuk dan sifat yang luas dan juga memiliki nilai rupiah yang relatif besar dan pada sisi lainnya, aset pemerintah daerah tersebut harus memberikan kontribusi yang bermakna pada instansi pengguna. Kondisi seperti ini menimbulkan beragam fenomena internal bagi masing-masing individu yang oleh Curtis (2006) disebut sebagai mood (efek psikologis individu yang bersumber dari lingkungan kerja). Mengingat lingkungan kerja instansi pengguna aset pada akhir-akhir ini cenderung membuat anggota organisasi menjadi stress dan memiliki beberapa bentuk sikap yang disfuctional, maka kepuasan kerja anggota menjadi salah satu variable penting untuk dipahami dan diwujudkan (Bettencourt et al., 2001).
Berdasar pada kedua masalah di atas, maka peran antara sumberdaya manusia dan akuntansi untuk mewujudkan visi/misi organsasi, menjadi penting.
Terhadap masalah sumberdaya manusia ini, Ishak (2002), berkata bahwa: “ sumberdaya manusia adalah pemegang kunci dari semua aktivitas. Banyaknya modal yang berhasil dikumpulkan, akan hilang tanpa makna jika sumberdaya mausia sebagai pengelolanya tidak memiliki kapasitas yang tepat untuk mengurus modal tersebut “. Selain itu, dalam dunia akademik, diyakini pula bahwa sumberdaya manusia merupakan aset terpenting dan sentral untuk memajukan suatu organisasi. Dengan demikian, disadari atau tidak, sumberdaya manusia yang dimiliki oleh pemerintah daerah, masih berada pada level yang terbatas. Baik terbatas dalam bentuk mental maupun intelektualnya. Di sini, kemampuan diartikan sebagai suatu kapasitas induvidu dalam melakukan suatu pekerjaan. Dalam konteks pengelolaan aset daerah, banyak tugas yang diemban oleh sumberdaya manusia pemerintah daerah. Diawali dari pengajuan pengadaan aset hingga pada pola/metode pemeliharaan aset yang bersangkutan. Pola pemeliharaan aset tersebut, tidak hanya mencakup unsur pengawasan saja tetapi juga mencakup aspek optimalisasi pemanfaatannya untuk mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah. Oleh karenanya, secara umum, masalah pengelolaan aset pemerintah daerah mencakup:
1. Tahap perencanaan yang meliputi: pengadaan dan pemanfaatannya,
2. Tahap implementasi penggunaan aset, dan
3. Tahap pengawasan dan evaluasi kinerja aset .
Ke tiga tahapan tersebut, lebih dikarenakan adanya tuntutan untuk secara simultan fokus pada kinerja. Ringkasnya, pengelolaan aset pemerintah daerah, pihak pengelola dituntut untuk menggunakan manajemen aset berbasis manusia.
Ditinjau dari kemampuan intelektualitasnya, sumberdaya manusia yang ada di lingkungan pemerintah daerah tidak berada pada level rendah. Tetapi, permasalahan kemampuan mental yang menjadi kunci berjalannya berbagai tugas sesuai harapan, masih berada pada level yang membutuhkan perhatian serius. Hal ini menjelaskan bahwa masih banyaknya pemasalahan yang terkandung di dalam aspek-aspek mental sumberdaya manusia. Sebab, mental adalah tempat sumber dari berbagai perilaku yang ditampilkan oleh setiap induvidu. Perubahan-perubahan perilaku induvidu pengelola aset daerah, akan lebih nyata terlihat sejak diberlakukannya anggaran berbasis kinerja.

C. Anggaran dan Sumberdaya Manusia
Satu diantara tugas penting dan berat bagi setiap instansi pemerintah adalah menyusuan anggaran yang lazim disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penting, sebab melalui anggaran, seluruh operasional instansi pemerintah yang bersangkutan dapat dilihat dianggaran tersebut. Sedangkan dikatakan berat sebab anggaran juga memberikan gambaran atas berbagai kepentingan dari banyak pihak.
Selain itu, secara teoritis, anggaran dapat disusun dengan menggunakan dasar kinerja (Permendagri, 2006). Penetapan basis penyusunan anggaran ini, didasari pada berbagai kajian yang dianggap oleh pemerintah pusat sebagai suatu basis yang logis bagi setiap pengelola keuangan baik di pusat maupun di daerah. Namun, sampai pada tahap penerapannya, masing-masing instansi di lingkungan pemerintah baik pusat maupun daerah masih menyimpan banyak permasalahan yang terkait anggaran tersebut. Beberapa permasalahan yang dapat diungkapkan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ketersediaan perangkat kerja di lingkunga pemerintah;
Pada aspek ini, tampak bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagaimana yang dibentuk berdasarkan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tersebut, di jajaran pemerintah daerah baik Tingkat I maupun Tingkat II, belum tersedia/dibentuk. Hal ini jelas akan menjadi masalah yang relatif serius bagi pengguna anggaran atau pengguna barang.
2. Acuan kinerja yang belum jelas;
Acuan kerja di lingkungan pemerintah daerah baik Tingkat I maupun Tingkat II, belum memiliki standar acuan kerja yang jelas dan terukur sebagai dasar dalam memberikan penilaian terhadap hasil kerja selama periode anggaran. Kalaupun ada, acuan kinerja tersebut masih sukar untuk diukur dan penyusunannya belum berdasar pada kondisi nyata organisasi. Hal ini dapat terjadi karena penyusunan standar/acuan tersebut dilakukan dengan tanpa melewati tahapan penelitian. Bahkan, acuan kinerja masih perlu kajian lanjutan terhadap hubungan antara 1 acuan kinerja dengan acuan kinerja lainnya dan kontribusi acuan kinerja terhadap pencapaian visi dan misi instansi pemilik anggaran.
Dengan kata lain, masih terdapat berbagai pertanyaan yang perlu dicari jawabannya di sekitar acuan kinerja itu. Pertanyaan-pertanyaan itu, antara lain meliputi:
a. Apa ukuran-ukuran yang dipakai agar acuan kinerja dapat mendukung tercapainya visi dan misi,
b. Apakah acuan kinerja yang ditetapkan dapat memberikan rangsangan positif bagi pengelola anggaran dan pengelola pelaksanaan suatu kegiatan, dan
c. Bagaimana cara acuan kinerja itu dijalankan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, jarang dijadikan bahan diskusi oleh para pengelola keuangan/anggaran. Bahkan, acuan kinerja tidak jarang dianggap sebagai sesuatu yang mencurigakan (Coletti et al.:2005).
Pada kondisi yang lain, hal yang terlupakan oleh banyak pihak dalam konteks acuan kinerja adalah masalah dampak diberlakukannya suatu acuan kinerja. Memberlakukan suatu acuan kinerja, dapat berdampak pada bentuk persepsi dari mereka yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan acuan kinerja serta kesinerjakan antar acuan kinerja. Terhadap masalah persepsi, dapat dilihat bahwa jika acauan kinerja dipersepsikan sebagai suatu mekanisme untuk mengendalikan ruang gerak mereka, maka mereka memiliki beberapa kecenderungan perilaku (behavior) yang negatif (dysfuctional) yang oleh Abernetty (1999) dikatakan sebagai salah satu penyebab timbulnya konflik. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Clarke dan Butcher (2006) bahwa akhir-akhir ini, anggota suatu organisasi memiliki diversifikasi kepentingan dan otonomi bagi individu yang akan bergerak/bertindak. Pernyataan ke duanya ini, memberikan sinyal kepada kita tentang adanya kecenderungan sikap yang menentang atas diberlakukannya acuan kinerja tersebut. Penentangan sikap ini lebih dikarenakan adanya persepsi bahwa acuan kinerja menjadi penghalang bagi pengaktualisasian diri mereka.
Masalah lainnya adalah masalah kesinerjikan antar acuan kinerja. Disadari atau tidak, pihak manajemen suatu organisasi/instansi memiliki kecenderungan pada 1 hal saja, sehingga terkesan mengabaikan hal lainnya. Nikias et al. (2005) menanggapi fenomena ini dengan memberikan istilah disaggregate dan aggregate. Disaggregate memberi makna bahwa tidak ada hubungan yang saling bergantung antara 1 tugas dengan tugas lain. Sedangkan aggregate adalah sebaliknya. Oleh karenya, melalui pengenalan terhadap sumberdaya manusia yang dikuasai, tupoksi yang selama ini digunakan akan memberikan gambaran yang sangat membantu dalam mendisain acuan kinerja.


3. Sifat anggaran yang dipilih;
Sifat anggaran dapat berupa realistis, partisipatif, dan fleksibel. Anggaran bersifat realistik bermakna bahwa anggaran disusun dengan lebih berisikan atau memuat kegiatan-kegiatan yang dijabarkan ke dalam satuan mata uang dengan melihat kondisi nyata dimana anggaran tersebut direalisasikan. Selain itu, anggaran yang realistis ini dapat diwujudkan manakala anggaran yang tersusun tidak sampai melahirkan ketegangan atau tekanan bagi pihak pelaksana anggaran. Kondisi ini memungkinkan terjadi jika anggaran yang tersusun untuk suatu kegiatan/program terasa sangat menekan pihak pelaksana anggaran. Emosional yang demikian itu muncul sebab pelaksana anggaran melihat masukan dari kegiatan tersebut adalah sangat kecil dan relatif tidak mungkin untuk mewujudkan kegiatan atau program yang ditetapkan sebelumnya. Di sisi lain, anggaran yang tersusun tidak pula dikatakan logis jika input kegiatan yang dianggarakan (berupa dana), berlebih. Pertanyaan lanjutannya adalah, melalui cara apa input suatu kegiatan/program ditentukan pada jumlah yang wajar (tidak terkesan boros tetapi tidak pula menjadikan pelaksana anggaran mengalami tekanan/stres akibat sedikitnya input)?
Sifat lain dari anggaran adalah bersifat partisipatif. Sifat anggaran ini, lebih fokus pada masalah teknik penyusunan anggaran. Artinya, dalam penyusunan anggaran, berbagai lapisan struktural dalam suat organisasi/instansi, ikut serta dilibatkan atau berpartisipasi. Pola atau model penyusunan anggaran yang demikian, tampak lebih memberikan kontribusi atas kinerja anggaran. Dengan kata lain, pola penyusunan yang demikian, akan memberikan hasil yang optimal bagi suatu anggaran atau akan tercipta anggaran yang optimal. Terhadap kondisi ini, Parker et al. (1989:45) menyatakan bahwa anggaran yang optimal akan dapat diwujudkan jika semua anggota organisasi dilibatkan sejak tahap penyusunan hingga penerapannya. Ketidak ikutsertaannya mereka dalam penyusunan anggaran, akan cenderung di diri anggota organisasi/instansi, lahir suatu persepsi ketidak adilan (Chhokar, et al., 2001) yang pada gilirannya akan mengganggu motivasi kerja, loyalitas, serta menurunnya kinerja mereka, sehingga anggaran yang berbasis kinerja akan sangat sukar diwujudkan kalau tidak menjadi model anggaran yang tidak mungkin diwujudkan.

D. Penutup
Permasalahan-permasalahan di atas, jika dievaluasi dan ditinjau ulang, maka dapat disimpulkan bahwa sumberdaya manusia adalah pemegang kunci utamanya. Semua aset yang disajikan di dalam Neraca Daerah, selain tidak ada yang tertinggal, juga senantiasa harus selalu dievaluasi dalam kaitannya untuk mendukung terwujudnya visi dan misi pemerintah daerah. Pelaksanaan ini, hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mau dan mampu untuk melakukannya. Hal penting lainnya adalah perlunya pihak di jajaran pemerintah daerah memiliki suatu pandangan terhadap pengelolaan keuangan/aset yang dimilikinya, yaitu bahwa aset tersebut merupakan mitra kerja yang sangat berpengaruh terhadap kinerja secara keseluruhan dan anggaran sebagai kenderaan menuju pencapaian visi/misi organisasi.
Untuk mewujudkan evaluasi yang handal, maka sistem akuntansi yang diberlakukan di lingkungan Pemda, hendaknya mampu menjadi alat penyedia informasi yang handal pula. Neraca Daerah yang handal akan dapat selain memberi informasi keuangan secara valid, juga akan dapat berperan sebagai alat ukur kinerja sumberdaya manusia terkait dengan pengoptimalan manfaat aset yang tertera di dalam Neraca Daerah dan terciptanya anggaran yang optimal.

Referensi
Abernethy, M.A., 1999. Budgeting ang the Management of Role Conflict in Hospital. Behavioral Research in Accounting. Vol. 11, pp: 93-110

Bettencourt, L.A., Gwinner, K.P., and Meuter, M.L., 2001. A Comparison of Attitude, Personality, and Knowledge Predictors of Service-Oriented Organizational Citizenship Behaviors. Journal of Applied Psychology. Vol. 86, No.1, pp: 29-41

Chhokar, J.S., Zhuplev, A., Fok, L.Y., and Hartman, S.J., 2001. The Impact of Culture on Equity Sensitivity Perception and Organizational Citizenship Behavior: A Five-Country Study. International Journal of Value-Based Management, Vol. 14, pp: 79-98.

Clarcke, M. and Butcher, D., 2006. Voluntarism as a Organizing Principle for Responsible Organizations. Corporate Gevernance, Vol. 6 N0. 4, pp: 527-544

Coletti, A.L., Sedatole, K.L., and Towry, K.L., 2005. The Effect of Control Systems on Trust and Cooperation in Collaborative Environments. The Accounting Review, April (80), pp: 477-500.

Curtis, M.B., 2006. Are Audit-Related Ethical Decisions Dependent upon Mood? Journal of Business Ethics, Vol. 68, (Springer), pp: 191-209

Ikhsan, A. and Ishak, M., 2005. Akuntansi Keperilakuan, Jakarta: Salemba Empat.

Ishak, M., 2002. Akuntansi dan Aspek-Aspek perilaku. Paper yang disampaikan pada saat melakukan pembimbingan teknis atas pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota Magelang.

Menteri Dalam Negeri, 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta: Fokusmedia.

Nikias, A.D., Schwartz, S., and Young, R.A., 2005. Optimal Performance Measures with Task Complementarity. Journal of Management Accounting Research, Vol. 17, pp: 53-73

Peraturan Pemerintah RI No 24, 2005. Standar Akuntansi Pemerintah.

Parker, L.D., Ferris, K.F., and Otley, D.T., 1989. Accounting for yhe Human Factor. Australia: Prentice Hall of Australia Pth Ltd.

Ryan, J.J., 2001. Moral Reasoning as a Determinant of Organizational Citizenship Behaviors: A Study in the Public Accounting Profession. Journal of Business Ethics, Vol. 33 No. 3 (October), pp: 234-244.

Siregar, D.D., 2004. Manajemen Aset, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.


*) Staf Ahli Badan Penelitian dan Pengembangan Prov. SUMUT,
Peneliti pada Sumatera Economic and Public Policies Study
dan Staf Pengajar FE UNIMED-Medan