Saturday, November 29, 2008

SKB dan Manusia “ Buruh “



Tidak selamanya, suatu tujuan yang baik akan selalu berakhir secara baik pula. Pernyataan ini, adalah sangat sesuai dengan keberadaan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 4 Mentri (Menteri Dalam Negeri, Perindustrian, Tenaga Kerja dan Transmigran, dan Meteri Perdagangan). Kemunculan SKB ini ditujukan untuk meminimalisir dan bahkan menghilangkan laju gerak gelombang PHK bagi si buruh. SKB ini juga dijadikan suatu acuan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pngusaha dan pekerja (buruh). Oleh karenanya, wajar jika kemunculan SKB 4 Menteri ini lebih didasarkan pada beberapa pertimbangan terkait krisis global yang saat ini guna mengantisipasi dampak negatif terhadap dunia usaha dan ketenagakerjaan.
Namun, mengapa SKB yang diyakini akan sangat bermaanfaat baik bagi pemerintah, pengusaha, maupun pekerja atau buruh, direspon negatif oleh pihak buruh. Artinya, mengapa para pekerja/buruh merasa tidak nyaman atau terganggu keberadaannya dengan lahirnya SKB ini. Pertanyaan-pertayaan ini mengindikasikan ada yang kurang “ benar “ di SKB tersebut. Untuk itu, melihat dan mengevaluasi SKB adalah bagian penting pula dalam menghentikan arus gelombang PHK.

Ada apa dengan SKB?
Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri itu berangkat dari suatu kebutuhan yang dipersepsikan oleh pemerintah dan pihak lain sebagai sesuatu yang sudah layak untuk diwujudkan. Namun, sampai hari ini, pihak buruh sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dan terkait langsung dengan SKB, selalu berusaha untuk tetap menolak isi SKB tersebut. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, yaitu masalah kepentingan yang tidak terealisir atau merasa terkorbankan atas sebuah keputusan.
Masalah ” kepentingan “ dan merasa “ dikorbankan “ ini adalah alami dan sangat manusiawi. Jika begitu adanya, lantas, masihkah SKB itu dikatakan akomodatif jika mengacu pada konsep tripartit (pemerintah, pengusaha dan pekerja). Sedikit kebelakang, apakah salah satu dari ketiga pihak di dalam tripartit itu tidak mengalami ketakutan dengan melihat pada kondisi bahwa apa yang diharapkannya adalah berbeda dengan apa yang menjadi kenyataannya. Selaku rumah tangga produsen (pihak pengusaha), apakah tidak memiliki rasa khawatir pada saat harga pokok produk yang dihasilkannya adalah tinggi sebagai akibat dari tingginya harga salah satu komponen penting dari produknya. Apakah pihak pemerintah tidak memiliki rasa yang gusar manakala investor asing mengklaim bahwa iklim investasi di Indonesia adalah rawan sehingga tidak menjanjikan jika berinvestasi? Ini bukti bahwa apakah kita berposisi sebagai pemerintah, sebagai pengusaha atau sebagai buruh, kita tidak bisa lepas dari unsur-unsur manusiawi kita. Kalau begitu, apapun yang telah menjadi keputusan yang telah disepakati, semestinya tidak terlepas dari unsur-unsur manusiawi juga. Bukan hnya berangkat dari unsur ekonomi saja. Sebab, yang mengalami kekhawatiran, ketakutan dan lain sebagainya itu adalah sisi-sisi manusiawi, bukan sisi-sisi ekonomi. Lantas, bagaimana pula dengan diterbirkanya SKB 4 Menteri tersebut? Apa dasar pijakan atau pertimbangan yang memicu lahirnya SKB itu. Dapat dipastikan adalah pertimbangan sisi-sisi ekonomi. Kalaupun ada pertimbangan manusiawi, maka pertanyaannya adalah “ manusiawi ”nya siapa? Pemerintah, pengusaha atau buruh? Ini yang perlu dicermati. Amat tidak manusiawi alias ekonomis sekali, jika selama ini para pengusaha dapat menikmati hidupnya melalui bantuan-bantuan para buruh dan saat ini diminta untuk memberi bantuan kepada si buruh, namun menolaknya. Melalui SKB ini, malah pihak pengusaha diberi leluasa untuk merefleksikan apa yang diinginkannya kepada si buruh. Sebab manusia dengan status “ buruh ” diminta untuk meredifinisi ulang besaran upah yang diterimanya dengan manusia berstatus “ pengusaha “. Sangat jelas, akan terjadi tarik menarik kepentingan dan kekhawatiran antara si buruh dan si pengusaha. Jika kenyataan ini yang terjadi, dapat kita pastikan kalau manusia berstatus “ buruh “ pasti tidak memiliki kekuatan daya tawar sekuat daya tawar manusia berstatus “ pengusaha. Apakah posisi tawar menawar ini tidak diketahui oleh pemerintah? Pemerintah pasti mengetahuinya, tetapi tidak dapat berbuat banyak. Ini bukti kalau pijakan lahirnya SKB itu, bukan berdasar pada sisi-sisi manusia tetapi pada sisi-sisi ekonomi semata. Inilah basis ekonomi bangsa kita saat ini.

No comments: