Sunday, November 30, 2008

INVESTOR DIUNDANG, PREDATOR YANG DATANG

Investor merupakan pihak yang diyakini akan mempu memberikan rangsangan signifikan atas keberlangsungan kegiatan ekonomi dan bahkan memberikan banyak sumbangan berarti di dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat pengangguran,membuka lapangan kerja, penyumbang devisa serta berdampak pada penanggulangan masalah kemiskinan, namun benarkah demikian adanya, masih memerlukan pembahasan!

Predator, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai suatu sosok hewan yang memangsa/memakan hewan lainnya yang lebih kecil dibanding dirinya. Jenis hewan ini, tanpa mau kompromi dan berfikir bahwa yang dimangsanya adalah hewan juga. Tetapi, walaupun demikian, masih saja kita dapat memakluminya sebab hewan itu adalah hewan. Bagaimana dengan investor?
Hampir-hampir tidak dapat disangkal, jika dikatakan bahwa bangsa ini sangat-sangat merasa perlu untuk mengundang para investor (pihak yang memiliki modal). Selain sebagai minyak pelumas untuk menjalankan kendaraan ekonomi bangsa, para investor juga diasumsikan sebagai pihak yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa termasuk pula ekonomi Sumatera Utara. Masih dalam kapasitas keyakinan – belum pada level kanyataan – para investor dapat dipersamakan dengan dewa penyelamat ekonomi. Keyakinan ini juga telah berimbas hingga ke daerah-daerah baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Jarang sekali kita mendengar daerah yang tidak membutuhkan kehadiran investor untuk membangun ekonomi daerahnya. Banyak daerah melalui kajian-kajian para tim ekonominya merasa bahwa tanpa hadirnya investor, akan sulit rasanya untuk bisa memajukan ekonomi daerahnya. Bahkan lebih maju lagi, telah banyak daerah yang sudah memulai untuk meminta izin kepada pemerintah pusat agar izin diberikan kepada mereka demi melakukan berbagai negosiasi/kerjasama serta kesepakatan-kesepakatan kepada pihak investor baik investor dalam maupun luar negeri. Benarkah dan akan terwujudkah harapan dan keyakinan daerah yang demikian itu? Kondisi masyarakat Sumatera Utara, walaupun tidak secara keseluruhan, khususnya para petani kopi yang bergabung di dalam Asosiasi Petani Kopi Sumatera Utara (APKSU) dan kondisi masyarakat Porsea dengan hadirnya Perusahaan Pengolahan Bubur Kayu dalam kapasitas besar, adalah contoh dari sederetan contoh-contoh yang dapat menjawab pertanyaan di atas (Medan Bisnis tanggal 16 Pebruari 2008). Artinya, kehadiran investor di tengah-tengah mereka bukan membawa perubahan positif dari kehidupan berekonomi mereka, tetapi malah sebaliknya. Buktinya, sampai saat ini, daerah sekitar tempat berdirinya perusahaan besar seperti di Porsea itu, tingkat penduduk miskin masih saja menjadi masalah besar. Katakanlah seperti Kabupaten Simalungun, Samosir, Toba Samosir, dan Humbang Hasundutan yang berdasarkan data BPS tahun 2006 masing-masing sebesar 19,39%; 30,59%; 17,85%; dan 22,14% yang jika dirata-ratakan masih berkisar 22,49% dari total penduduk di ke-4 kabupaten tersebut.
Menarik untuk disimak, diperhatikan, serta dianalisis. Apakah harapan dan keyakinan kita yang keliru alias berlebihan, atau implementasi dan teknis yang keliru sehingga kehadiran investor membawa dampak yang tidak seperti yang diharapkan. Resiko apa yang akan dihadapi masyarakat jika harapan tadi tidak menjadi kenyataan. Jika masih belum juga menjadi bagian penting dari proses mengundang para investor oleh pihak daerah, maka adalah layak untuk menyoal lebih lanjut perihal harapan atau teknis tersebut. Sebab, bukankah para perancang teknis serta penggagas hadirnya investor itu adalah mereka-mereka yang memiliki sederetan gelar dipundaknya yang telah dilegalisir oleh lembaga pendidikan tinggi dalam dan luar negeri. Jika pihak perancang teknis serta penggagas itu yang keliru, maka persoalannya ada di cara pandang mereka. Namun, apapun alasannya, kondisi yang merugikan petani kopi kita, telah terjadi. Inilah mungkin makna dari kalimat yang pernah diucapkan oleh Adam Smith (Bapak Ekonomi Dunia) bahwa para pelaku ekonomi – diantaranya para investor – TIDAK pernah diharapkan untuk memikirkan kepentingan umum dan bahkan terus berkonspirasi untuk melawan kepentingan umum demi kepentingan sendiri (keuntungan diri sendiri).
Lalu, bagaimana pula dengan daerah sebagai pihak yang mengundang investor? Masih belum jenuhkah untuk melayangkan undangan ke investor lainnya – terutama investor asing – dalam rangka pemulihan kesehatan ekonomi daerahnya? Apa standar yang dijadikan acuan oleh Sumatera Utara selaku pihak yang mengundang investor sehingga investor itu layak untuk diundang? Bukan tidak boleh melakukan undangan tersebut, tetapi pertanyaan-pertanyaan yang demikian, semestinya menjadi bagian terpenting di dalam proses untuk mengundang investor.

Model Manusia Ekonomi dan Investor
Investor, diyakini menjadi kata kunci dalam menjalankan roda perekonomian. Namun, pada sisi lainnya, investor juga telah menjadi kunci jawaban atas konsekuensi atau dampak yang ditimbulkan oleh investor sebagaimana yang kita lihat pada kasus APKSU tadi. Dengan melihat pada kasus ini tampak bahwa secara implisit, investor akan melakukan investasinya manakala ada peluang untuk mendapatkan keuntungan dari investasi yang dilakukannya itu. Kondisi dan premis tersebut, menimbulkan pertanyaan, apakah investor memandang kegiatan berinvertasi seperti di atas adalah hal yang keliru? Kita pasti berfikir dan menyimpulkan bahwa kegiatan investasi tersebut jika dilandasi oleh pemikiran di atas, adalah benar atau tidak keliru. Tetapi, apa yang kita lihat selanjutnya, manakala investor tersebut mengoperasikan investasinya berdasar pada hasil evaluasi tinjauan ekonominya (maksimum profit). Investor akan berusaha sekuatnya agar tujuan investasinya dapat tercapai, namun kita sebagai pihak yang mengundang investor, apakah mendapatkan keuntungan sebagaimana yang didapat oleh investor. Aneh rasanya jika kita menjawab “ ya “, sebab faktanya berbicara lain. Jadi, jika demikian adanya, apa yang menyebabkan kita mengundang para investor tersebut? Apa yang keliru di kita sehingga masyarakat kita tidak menikmati hasil dari hadirnya investor yang kita undang tersebut? Tragisnya lagi, kita mencoba untuk mewajarkan kalau investor tadi lebih banyak menerima keuntungan dibanding kita yang mengundang sebab mereka adalah pemilik modal. Jika ini yang diwajarkan maka apa yang dikatakan oleh orang bijak, “menjadi pembantu di rumah sendiri”, akan menjadi kenyataan.
Apa yang sebenarnya terjadi di kita sehingga kita mengundang investor? Dari sekian banyak alternatif jawaban, satu diantaranya adalah asumsi yang dipegang oleh tim-tim ekonomi kita sehingga sampai pada simpulan bahwa kita harus mengundang investor. Banyak asumsi yang dipegang oleh tim ekonomi daerah ini, tetapi dari sekian banyak asumsi tersebut, ada satu asumsi yang benar-benar terlupakan. Asumsi tersebut adalah bahwa para investor akan selalu dan terus selalu mencari keuntungan/laba secara maksimal dari investasi yang dilakukannya. Kalaulah kita fokus pada asumsi ini, maka untuk mengundang investor terutama investor asing, akan dapat dibatalkan minimal diperhitungkan kembali secara lebih teliti untuk mengundang investor tersebut. Bagi para investor, mencari laba atau keuntungan adalah sesuatu yang logis. Sebab hal ini adalah target penting bagi mereka. Inilah model manusia dalam perspektif ekonomi. Model ini menggambarkan bahwa manusia selaku investor akan selalu dan secara terus menerus memaksimalkan utilitasnya yang dalam bahasa masyarakat awam adalah mencari dan meningkatkan keuntungan/laba demi kepentingannya. Penggunaan asumsi ini kita refleksikan lewat gencarnya kita mengundang para investor agar datang sebagai penyelamat dari “kondisi ekonomi masyarakat“.

Penutup
Selain kasus APKSU, masih banyak lagi kasus yang sejenis yang mungkin belum terungkap. Terlepas dari dampak yang diberikan dari hadirnya investor, perbaikan atas pemahaman terhadap model manusia ekonomi (homo-economicus) untuk dijadikan pijakan atas kajian-kajian ekonomi Sumatera Utara adalah sesuatu yang urgen untuk dilaksanakan. Sebab, masyarakat Sumatera Utara adalah masyarakat yang akan diajak menuju ke nilai-nilai keramahan/kesantunan (homo-socius) dan juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki nilai-nilai Ketuhanan (homo-religius) seperti yang dilukiskan di dalam Visi Sumatera Utara. Jadi, jika inilah visi yang dicanangkan, maka pertanyaannya adalah kapan terwujudnya visi tersebut jika dalam menjalankan ekonomi hanya menggunakan pijakan lagika dari manusia bermodel ekonomi? Jadi, pada saat kita melakukan kegiatan ekonomi, mengkombinasikan pijakan antara model ekonomi dan model non ekonomi adalah formulasi yang lebih tepat. Dengan kata lain, undangan untuk para investor bukan permasalahan yang perlu dikhawatirkan manakala para pengundang memahami persis bahwa investor adalah model manusia dalam perspektif ekonomi yang secara terus menerus akan mencari keuntungan/laba.

No comments: