Saturday, November 29, 2008

DAMPAK LOGIKA EKONOMI

Terlalu lama sudah “ kebenaran ” akan teori ekonomi neo-klasik yang diajarkan di berbagai perguruan-perguruan tinggi di seluruh Indonesia khususnya Propinsi Sumatera Utara, tanpa ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih perlu diperdebatkan. Kebenaran teori tersebut, tidak hanya terbatas untuk kalangan akademis saja, tapi “ kebenaran “ telah merambah hingga ke rumah-rumah tangga. Tidak jarang kita dengar dan kita lihat, seorang ibu atau bapak, sebelum mengeluarkan sumber daya yang dimilikinya melakukan evaluasi tentang kos dan benefit/manfaat terlebih dahulu atas pengeluaran tersebut. Begitulah kondisi yang dapat kita lihat sebagai suatu dampak dari di terapkannya teori-teori ekonomi yang diajarkan sejak tingkat SLTA hingga pada level pasca sarjana. Benarkah bahwa teori-teori ekonomi tersebut dibangun atas dasar serangkaian asumsi-asumsi yang memiliki level validitas tinggi? Jika benar bahwa validitas asumsi-asumsi tersebut berada pada level yang tinggi, mengapa teori-teori tersebut tidak dapat memecahkan berbagai permasalah ekonomi yang dihadapi bangsa saat ini? Mengapa praktek-praktek ekonomi yang ada melahirkan suatu kecenderungan untuk bersikap serakah (selfish/mementingkan diri sendiri) bagi pelaku-pelakunya? Benarkah setiap manusia selalu bersikap rasional dalam setiap tindak tanduk yang diambil terkait dengan aspek-aspek ekonomi? Bagaimana pula manusia dapat melihat dengan tepat atas pemaksimalan kepuasan yang diraihnya dengan mengeluarkan sejumlah pengorbanan/sumber eknomi yang dimiliki? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya layak untuk diajukan. Namun, contoh-contoh pertanyaan di atas, dapat kiranya dijadikan acuan dalam melakukan peninjauan ulang atau setidaknya merangsang kita sebagai ekonom untuk mempertanyakan validitas asumsi-asumsi yang dipakai untuk membangun teori-teori ekonomi saat ini ( neo-klasik ). Begitu mahalkah harga suatu asumsi untuk ditinjau ulang dan bahkan untuk dirubah?

Menyoal asumsi-asumsi teori ekonomi
Buku-buku teks yang diajarkan kepada para mahasiswa fakultas ekonomi, bukanlah suatu rahasia jika dikatakan berbasis pada pendekatan-pendekatan neo klasik. Asumsi bahwa manusia adalah homo economicus, selalu bersikap rasional, secara konssisten terus menerus berusaha mencapai kepuasan maksimal (maximum utility) serta asumsi-asumsi lain seperti adanya kebutuhan yang tidak terbatas dan terbatasnya alat pemenuh kebutuhan, merupakan contoh-contoh asumsi yang perlu untuk dikaji ulang.
Selaku homo economicus, manusia selalu berfikir dan bersikap berdasar pada nilai-nilai ekonomi. Untuk itu, manusia dianggap selalu rasional. Tapi, apakah manusia benar-benar dapat berposisi sebagai homo economicus dan selalu bersikap rasional? Jika kita menjawab berdasar pada ajaran-ajaran/pemikiran-pemikiran yang diajarkan kepada kita selaku insan akademika ekonomi, maka secara mantap dan meyakinkan, kita akan menjawab “ ya ”. Kalau jawaban ini dipertahankan karena “dianggap” benar, maka kecelakaan besar sedang menanti kita di depan. Mengapa? Sebab, selain bertolak belakang dengan sikap sehari-hari manusia ( yang tidak selalu rasional dalam bertindak ekonomi ), juga tidak sesuai dengan pandangan dasar diri manusia yaitu selaku homo religius, homo socius dan homo-homo lainnya yang non economicus.
Tidak dapat disangkal jika dikatakan bahwa, asumsi-asumsi ekonomi neo klasik itu mewujudkan manusia-manusia yang selalu mementingkan dirinya sendiri ( selfish ), manusia-manusia yang berbasis pada untung rugi untuk setiap tindakan dengan tanpa melihat di sekitar demi pencapaian utility yang maksimal untuk dirinya. Kalau masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat SUMUT khususnya memiliki pandangan yang demikian, maka persaingan sesama mereka hampir-hampir mustahil untuk dikendalikan. Begitu melangkahkan kaki dari depan pintu rumah di pagi hari, peralatan perang telah disiapkan di malam hari sebelumnya. Siap berperang adalah kata kunci yang dijadikan acuan bagi setiap kita. Sebagai konsekuensi logis berikutnya adalah memunculkan fenomena-fenomena kanibalisme dengan dalih ekonomi.
Akan lain kondisinya jika asumsi homo economicus dan rasionalitas diganti dengan homo religius dan homo socius yang secara terus menerus memperhatikan lingkungannya, baik manusia maupun keseimbangan alam sekitarnya serta selalu mengambil tindakan-tindakan ekonomi yang memiliki kecenderungan secara non rasional ( psychological approach ). Asumsi ini, bagi Bangsa Indonesia tampaknya lebih riil dibanding asumsi neo-klasik seperti yang dijelaskan di atas. Kita masih selalu dan akan terus demikian untuk cenderung bersikap pada non rasional, bahkan kecenderungan ini juga terjadi di kalangan mereka-mereka yang mengajarkan rasionalitas dalam berekonomi. Buktinya, kita masih secara rela melakukan berbagai kegiatan yang bersifat menyumbang. Dimana letak keuntungannya jika melakukan kegiatan tersebut? Apakah mengkomsumsi secara berlebihan atas suatu kebutuhan ( melebihi kebutuhan ) seperti membeli kendaraan, masih dapat dianggap bersikap rasional? Bukankah mengkonsumsi di luar kebutuhan seperti itu lebih didasarkan pada sikap emosional dibanding rasional ( lebih cenderung pada aspek-aspek psikologi )? Pertanyaan selanjutnya, bukankah keputusan tersebut ( mengkonsumsi melebihi kebutuhan ) melahirkan pola alokasi sumberdaya yang inefficient? Bukankah efisiensi merupakan salah satu pilar teori ekonomi neo klasik? Jika demikian adanya, masih layakkah asumsi rasionalitas dijadikan pijakan dalam merumuskan teori-teori ekonomi?
Asumsi lainnya yang sangat fundamental dalam perumusan teori ekonomi yang diajarkan di fakultas ekonomi dan jenjang SLTA pada Jurusan Ilmu Sosial ( IPS ), adalah adanya kebutuhan yang tidak terbatas sedang alat pemenuh kebutuhan adalah terbatas. Melalui asumsi ini, maka muncullah ilmu ekonomi. Bagaimana caranya mencapai kebutuhan secara maksimal dengan alat pemenuh kebutuhan yang terbatas. Jika ditinjau ulang, terdapatnya pemikiran tentang alat pemenuh kebutuhan ( sumberdaya ) yang terbatas, apa tidak lebih dikarenakan sikap selfish-nya diri manusia itu sendiri? Apakah benar kebutuhan manusia itu tidak terbatas? Pandangan ini juga masih sangat berpotensi untuk didiskusikan sesama para ekonom secara serius. Masalahnya, akan lebih tepat jika diasumsikan bahwa manusia itu cenderung untuk bersikap selfish dibanding jika diasumsikan bahwa “ manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas “.
Dapat dicontohkan di sini bahwa manusia yang telah meraih segala macam kebutuhan hidupnya mulai dari kebutuhan yang mendasar ( basic need ) hingga kebutuhan aktualisasi diri ( actualization need ) sebagaimana yang diutarakan oleh Abraham Maslow lewat hierarchy need-nya masih juga memiliki perasaan kurang, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas? Apakah perasaan kurang tersebut tidak lebih dikarenakan selfish-nya manusia? Di sini tampak bahw asumsi “ kebutuhan manusia tidak terbatas “ memiliki kelemahan yang mendasar pula. Jika demikan adanya, apakah masih tepat jika kita sebagai masyarakat akademika yang berkecimpung dengan dunia ekonomi, menganggap asumsi tersebut memiliki tingkat validitas yang tinggi? Selanjutnya, apakah pada tempatnya jika kita selaku ekonom, enggan untuk mengkaji ulang asumsi tersebut? Bukankah kita selaku ekonom dituntut untuk selalu mencari dan terus mencari kelemahan-kelemahan yang terdapat di setiap dan sekaligus mengajukan teori-teori baru dengan tingkat validitas yang lebih tinggi dibanding teori-teori sebelumnya?
Begitu pula dengan asumsi kembaran dari asumsi “ manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas “ yaitu asumsi bahwa “ alat pemenuh kebutuhan yang terbatas atau diistiahkan dengan scarsity “. Seperti dipahami bersama, alat pemenuh kebutuhan sering juga diistilahkan dengan sumberdaya. Kajian yang terkandung di dalam asumsi ini adalah bagaimana manusia melakukan alokasi sumberdaya yang dimilikinya untuk mencapai maximum utility pada dirinya. Lewat asumsi inilah, manusia dirangsang untuk melakukan aktivitas-aktivitas pemilihan ( portfolio ) atas sumberdaya yang dimiliki. Pertanyaannya adalah apakah alat pemenuh kebutuhan/sumberdaya tersebut baik bersifat manusia maupun non manusia benar-benar ( truely ) terbatas? Bukankah sumberdaya tersedia secara proporsional dengan kebutuhan manusia? Jangan-jangan, keyakinan akan benarnya asumsi ini sebagai perwujudan dari rasa khawatir yang berlebihan dari diri kita akan kekurangan sumberdaya yang dapat dinikmati/dimanfaatkan di masa akan datang. Atau, lebih dikarenakan adanya asumsi kebutuhan yang tidak terbatas tadi. Sebab, sebagai akibat dari tidak terbatasnya kebutuhan maka disadari atau tidak, manusia satu akan secara terus menerus mencari kelebihan-kelebihan sumberdaya dibanding manusia lainnya.

Penutup Banyaknya problematik atas diri asumsi-asumsi yang menjadi fondasi perumusan teori-teori ekenomi saat ini, menjadi pemicu kekeliruan dalam menetapkan berbagai kebijakan ekonomi baik pada level mikro maupun makro. Keengganan dan kebelum-tahuan kita para ekonom untuk mempertanyakan validitas asumsi-asumsi dalam teori ekonomi, menjadikan teori ekonomi yang diajarkan saat ini kepada para mahasiswa adalah sesuatu yang benar-benar “ dianggap “ valid untuk dijadikan acuan atau ukuran berfikir dan bertindak ekonomi. Namun, itu semua tidak terlepas dari pertimbangan kita selaku ekonom untuk mau dan mampu menentukan pilihan serta melihat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Seberapa mahalkah jika kita mempermasalahkan asumsi-asumsi yang menjadi pijakan dalam perumusan teori-teori ekonomi, (2) Seberapa mahalkah yang harus kita korbankan jika kita mempertanyakan asumsi-asumsi tersebut, dan (3) Manakah yang lebih mahal antara antara membiarkan asumsi tersebut berjalan sebagaimana biasanya dan mempertanyakan asumsi tersebut?

No comments: