Sunday, November 30, 2008

BIROKRAT DAN LOGIKA EKONOMI


Di tahun 1776, orang bijak seperti Adam Smith pernah mengingatkan bahwa people of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ands in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. Ujaran Adam Smith ini adalah benar adanya dengan melihat konspirasi negatif yang terjadi di berbagai instansi pemerintah daerah maupun pusat.

Sedikit orang mau untuk melihat sebuah peristiwa konspirasi negatif dari sisi penyebabnya. Orang cenderung untuk melihatnya dari sisi akibat dan cara mencegahnya. Padahal, apapun yang dijadikan alat pencegahnya dan akibat yang dilahirkan dari peristiwa itu tetap belum mampu menjadi masukan berarti untuk menghentikan laju gerak konspirasi negatif itu. Kita lihat bagaimana peningkatan nominal gaji PNS yang dianggap dapat meminimalkan kasus konspirasi negatif ini, kurang efektif adanya. Meningkatnya nominal yang diterima itu tidak membawa dampak positif dan ini ditandai dari masih berjalannya masalah-masalah konspirasi negatif itu dengan mulus melalui banyak cara seperti meletakkan saling tukar kartu nama, mengajak makan para pegawai dan bentuk-bentuk lain guna menghasilkan sesuatu yang saling menguntungkan.
Kalau konspirasi negatif itu diartikan sebagai bentuk memperkaya diri sendiri secara “tidak sah” versi peraturan maka apa bedanya dengan memperkaya diri sendiri melalui bisnis menurut persepsi para ahli ekonomi. Oleh karena ekonom bangsa ini memiliki pemahaman yang dianggap oleh mereka adalah sesuatu yang telah “mapan” keberadaannya, maka seluruh kebijakan yang terkait ekonomi dan pelaksanaan bisnis itu pasti masih dianggap wajar. Tahukah para ekonom kalau buah pikiran mereka telah merasuk hingga di lingkungan birokrat seperti para birokrat yang dapat kita lihat sekarang ini? Kalau pelaku bisnis meraih kekayaan melalui usaha bisnis dengan tanpa melihat akibat yang ditimbulkannya, maka para birokrat kita juga akan meraih kekayaan lewat usahanya dengan tanpa melihat akibat yang ditimbulkannya. Apa bedanya kalau begitu.

Logika Para Ahli Ekonomi
Dalam pikiran para ahli ekonomi (ekonom), maksimum laba adalah ukuran dari kinerja. Makin tinggi laba yang didapat maka artinya semakin baik pula kinerja. Bayangkan kalau logika ini masuk ke lingkungan birokrat. Logika laba ini telah menjadi bagian dari logika yang dianggap wajar dan benar adanya. Lantas, apa salahnya kalau birokrat yang menurut ekonom juga sebagai homo economicus, memiliki dan menerapkan logika laba ini untuk dirinya. Selain itu, mereka juga setiap saat dipertontonkan dengan tontonan-tontonan yang terinspirasi dari logika laba. Bagaimana bentuk percakapan antara para birokat sebagai “ Kepala Keluarga ” dengan anak dan istrinya tentang masalah mahalnya biaya hidup. Apa bedanya dengan bentuk percakapan antara manajer dan karyawan tentang mahalnya biaya produksi dimana kedua pihak tersebut (kepala keluarga dan manajer) itu merupakan pihak-pihak yang selalu dan akan terus begitu untuk mencari solusi atas tingginya biaya. Inilah gambaran birokrat kita yang selalu menjadi sasaran kesalahan setiap ada masalah konspirasi negatif. Apa bisa kesalahan itu dilimpahkan kepada birokrat dengan tanpa mau melihat penyebabnya sebagaimana yang telah diperingati oleh Adam Smith di atas.
Coba kita lihat ke belakang, bagaimana pola berfikir para pelaku bisnis pada saat mereka memasuki areal politik yang berakhir pada perolehan status menjadi Gubernur, Bupati/Walikota atau menjabat jabatan-jabatan publik yang strategis lainnya. Apakah mereka tidak menebar benih-benih pemikiran ala ekonom di kalangan birokrat. Lantas masih bisakah para birokrat itu berpikir secara profesional sebagai pelayan rakyat, sementara rakyat yang dilayaninya adalah manusia-manusia yang bertipe Homo Economicus (manusia yang mementingkan diri sendiri), dan para birokrat tadi dipertontonkan dengan sebuah gaya berpikir dan perilaku dari para pelaku bisnis yang telah menjabat sebagai atasannya. Walau ironis tapi nyata adanya. Namun tetap saja masih dianggap benar, dianggap tidak menjadi masalah oleh semua kita. Lebih jauh, kenyataan ini tidak pernah mengusik para ahli ekonomi yang telah memberi kontribusi besar atas perubahan logika manusia yang menjadikan manusia mengejar laba secara maksimal.


Kesimpulan
Logika mencari laba bukan hal yang keliru tapi dia menjadi keliru pada saat cara, tempat, waktu, dan motifnya adalah keliru. Artinya, laba yang diharapkan bukanlah diraih melalui serampangan, tetapi laba diraih melalui motif, cara, tempat, dan waktu yang benar. Tidaklah cukup hanya tempat, waktu, dan cara saja yang benar tetapi motif juga perlu benar pula. Para birokrat, ingin melakukan tambahan penghasilan dengan motif yang benar seperti untuk menanggulangi melonjaknya harga-harga komoditi harian dan meningkatnya biaya sekolah putra-putri mereka, tetapi dengan cara yang salah walaupun tempat dan waktu yang benar pula, akan tetap dianggap sebagai sebuah kecurangan. Lantas, bagaimana pula para pelaku bisnis yang menjalankan usahanya dengan cara yang benar, tempat dan waktu yang benar, tapi motif yang salah yaitu hanya mencari laba dengan tanpa melihat akibatnya, dapat dianggap sesuatu yang tidak curang. Di sinilah letak ketimpangan logika yang diterima oleh para birokrat dan pelaku bisnis. Bagaimana pula dengan para ahli ekonomi yang telah menginpirasikan logika seperti ini tidak dapat dianggap sebagai pihak yang melakukan kecurangan? Padahal melalui merekalah logika untung rugi masuk di pikiran para generasi saat ini. Masih perlu ditinjau kembalikah logika para ekonom ini? Jawabnya ada pada diri ekonom itu sendiri.

No comments: